Kisah Penjual Bumbu

Desa kami tadinya pernah tenteram sejahtera. Penjual bumbu yang membuatnya begitu. Penjual bumbu datang entah darimana. Suatu hari, menggendong bakul rotan besar yang membuatnya seperti mobil mesin penggiling semen di kota besar, Penjual Bumbu menuruni lereng bukit mendatangi pasar kami di lembah ini. Mengambil suatu sudut pasar, entah bagaimana tidak ada penjual lain di pasar bahkan centeng pasar yang menggugat kedatangannya. Ada sesuatu darinya yang membawa rasa hening di hati yang memandangnya.

Mengawali kegiatannya setiap siang di pasar, Penjual Bumbu akan bersimpuh seperti pesinden di tempatnya, meletakkan bakul rotan di sisinya, melipat selendang batik warna merah jambu yang dipakai mengikat bakul untuk dijunjung di punggung. Ia lalu mengatur letak empat tampah rotan yang tadinya disunggi di atas kepalanya, rapi membentuk setengah lingkaran di hadapannya. Penjual Bumbu lalu mengeluarkan batok kelapa-batok kelapa kering dari bakul rotannya.

Batok kelapa kering ini dipakai Penjual Bumbu sebagai mangkuk bumbu adonannya. Tiap kali, Penjual Bumbu akan meletakkan mangkuk batok berurut mulai dari tampah di sisi kanannya. Pemandangan ini saja sudah membius, bagaimana setiap batok bisa diletakkan di tampah rotan tanpa terguling. Dijejerkan melingkar, setelah sesak memenuhi tepi tampah, mangkuk batok berikutnya diletakkan di lingkar lebih dalam. Sampai penuh memusat di tengah tampah. Baru ia akan mengisi tampah kedua. Sampai tampah terakhir penuh terisi, semua mangkuk masih tertutup daun pisang. Baru kemudian Penjual Bumbu akan membuka daun pisang – dengan gerakan anggun perlahan dan raut wajah khidmat – selalu dimulai dari batok kelapa yang pertama diletakkannya. Setiap lembar daun pisang ditumpuk rapi di tangan kiri, lalu dimasukkan kembali ke bakul.

Pada setiap mangkuk batok kelapa – ini yang selalu membuatku terpesona – tampak beraneka warna dan tekstur adonan bumbu ulek, cair dengan kekentalan yang beragam. Warna-warna yang indah. Merah tidak hanya merah. Ada batok kelapa kering dengan isi merah darah, merah tomat, merah jambu air. Hijau tidak melulu hijau. Ada hijau rumput gajah, hijau selada air, hijau gelap lumut. Ungu, hitam, coklat, jingga, setiapnya dengan berbagai nuansa. Aku sudah mati-matian mencari warna kembar di ketiga tampah itu, bahkan karena penasaran kutantang teman-teman untuk bantu temukan. Tapi kami belum berhasil. Tidak ada satu mangkuk pun yang berisi bumbu dengan warna yang sama.

Yang luar biasa juga, tiap kali daun pisang terkuak dari permukaan satu batok, akan tercium aroma yang begitu menggoda. Bumbu warna merah tomat, misalnya, menguarkan harum rendang masakan warung padang. Bumbu hijau selada air, menebarkan wangi tumis kangkung restoran cina. Adonan bumbu coklat kayu jati, mengudarakan aroma menggairahkan sate madura. Kami akan mengeluarkan bunyi-bunyian kekaguman tiap kali Penjual Bumbu mengangkat daun pisangnya. Aah, Hhmm, Wow, Waah, seketika tercetus tiap kali aroma bumbu terbebaskan dari kekapan daun pisang. Bergantian kami akan melenguh. Kadang, bisa bersamaan seperti paduan suara.

Sebaliknya, Penjual Bumbu senantiasa hemat berkata-kata. Duduk bersimpuh beralas tikar lipat, gayanya lebih bak ratu daripada penjual bumbu. Saat semua batok sudah terbuka dan aroma lezat merembang, menyihir kami yang jongkok mengitarinya tanpa pedulikan sengatan matahari siang, baru ia menjawab pertanyaan kami. Itupun seadanya: Ini bumbu gulai kambing. (Bahannya?) Ya biasa, bahannya ini, itu, anu. (Oh. Yang itu?) Itu untuk rawon. Ya bahannya juga biasa, anu, itu, ini. (Cara masaknyanya?) Ya biasa, tinggal ditumis dulu, baru dicampur dengan bahan lainnya. (Lalu?) Ya tinggal campur dengan daging atau bahan lainnya. (Lalu?) Ya bumbunya ini yang akan bikin istimewa. (Kok bisa?) Coba cium saja baunya.

Mulanya hanya beberapa saja ibu kami yang mendatanginya. Jadwal belanja di pasar memang lazimnya pagi hari. Tapi sejak hari pertama kedatangannya di pasar desa kami, Penjual Bumbu sudah menarik perhatian. Kini, siang belum lama terjelang, adonan bumbu ulek Penjual Bumbu pasti sudah ludas terbeli. Pembeli tinggal sebutkan masakan apa yang akan dibuatnya, ia akan cidukkan bumbu tertentu dengan sendok kayu, tuangkan pada daun pisang di atas kertas koran, membungkusnya mengerucut dan menyemat atasnya dengan potongan lidi. Yang pasti, apapun yang diminta, Penjual Bumbu selalu sedia bumbunya.

Penampilan Penjual Bumbu hampir sama seperti perempuan penjual sayur, buah, daging, ikan, atau bahkan penjual bumbu ulek siap masak lainnya. Berkebaya-berkain, keduanya dengan warna yang sudah memudar. Rambut beruban digelung. Sedikit gemuk khas tubuh perempuan hampir setengah baya. Sedikit pendek khas generasi terdahulu yang kurang gizi. Sangat biasa saja. Tapi ada sesuatu pada raut wajahnya, sorot matanya, cara bicaranya yang tenang teratur, yang mengundang perhatian – bahkan rasa penasaran – orang yang melihatnya.

Susuk, kata ibu dari salah satu kami. Yang mendengar biasanya diam saja. Tapi sebenarnya mana ada yang percaya, karena ibu itu memasok bakso ke salah satu penjual di pasar. Pastinya cuma iri saja. Ibu-ibu kami lebih percaya bahwa ini semua karena Penjual Bumbu punya aura wibawa.

Tapi, lebih dari wibawa, semua sangat percaya bahwa bumbu-bumbu ulek adonan Penjual Bumbulah sumber segala pikatannya. Aromanya, warnanya yang sedapkan mata. Kebanyakan malah lupa membicarakan rasa dari bumbu itu sendiri, dan pengaruhnya pada rasa masakan yang dibuat ibu-ibu kami itu. Kalaupun ada yang merasa masakannya tidak lebih enak dibanding sebelum memakai bumbu yang dibeli dari Penjual Bumbu, ibu-ibu kami itu justru akan menyalahkan diri mereka sendiri. Ah, itu karena aku menumisnya terlalu lama hingga rasanya sangit. Mana bisa adonan bumbu seharum itu, dengan warna semenarik itu, bikin gulaiku malah pahit begini?? Aku saja yang ceroboh. Begitu contohnya kata mereka. 

Dinamika pasar lalu berubah. Ibu-ibu lebih memilih belanja di siang hari, saat Penjual Bumbu sudah datang. Bahkan, para ibu kami bersedia meninggalkan tayangan sinetron, gosip artis, dan berita kriminal yang disiarkan stasiun tivi di siang hari. Para ibu memilih berkumpul di pasar. Tetangga yang jarang bertemu jadi ketemu, tetangga yang suka bertengkar jadi silaturahmi.

Hidup kami, anak-anak, juga berubah. Kami lebih suka memperhatikan Penjual Bumbu dari pada Penyewa Mainan Elektronik, penggoda nomor wahid bagi anak-anak desa kami. Kami tidak lagi mencuri uang belanja ibu atau menggunakan uang jajan yang sedianya untuk pengganti sarapan atau makan siang saat sekolah, untuk menyewa mainan elektronik selama beberapa menit. Kabel-kabel yang biasanya tersulur hubungkan tangan-tangan mungil kami yang cekatan mengarahkan permainan dengan perangkat game yang berjejer dihamparkan di atas kardus bekas, kini terkulai layu. Apalagi Tukang Es Goyang, Penjual Mie-instan-dalam-gelas-plastik, Tukang Cireng, Abang Gorengan, Penjual Mainan, Tukang Ikan Hias – mereka lebih tidak ada artinya lagi.

Sepulang sekolah, kami tidak lagi berkeliaran tanpa tujuan dan bermain tanpa kenal waktu. Pekerjaan sekolah kami kerjakan secermat dan secepat mungkin, agar kami bisa segera pulang tepat waktu. Bel berbunyi, bergerombol kami melangkah dalam diam – di kepala kami satu tujuan: segera ke pasar, menunggu Penjual Bumbu datang.

Mungkin frustrasi karena telah mencoba segala cara untuk memasaknya tapi tak kunjung menghasilkan rasa masakan yang berbeda, belakangan ibu-ibu kami malah lebih suka menyajikan adonan bumbu dari Penjual Bumbu begitu saja di meja makan sederhana kami. Ibu tidak memasak lauk sama sekali – nasi kami kunyah sambil menghirupi aroma bumbu Penjual Bumbu yang luar biasa. Ajaib! Lidah kami jadi menari menikmati rasa yang seolah jadi luar biasa. Bahkan, ibu lalu sering tidak masak sama sekali. Begitu nikmatnya aroma bumbu si Penjual Bumbu, menghirupnya saja sudah membuat kami kenyang. Meski tubuh kami makin lama makin kurus, perut makin cekung, pipi makin kempot, kami tidak kelaparan. Kami tetap nyenyak tidur di malam hari dan riang menjalani kegiatan kami di siang hari.

Dan begitulah desa kami menjadi tenteram sejahtera. Ibu-ibu tidak lagi bergunjing tentang perceraian artis. Berdamai dengan berapapun uang belanja yang diterima. Anak-anak tidak liar cari hiburan di luar gedung sekolah yang menyesakkan dan rumah yang serba kekurangan. Kami kian santun, dan memilih bergelung di rumah di atas dipan papan, bermimpi indah sejak terpuaskan oleh aroma bumbu

Sampai, kehidupan yang tenteram lalu terusik oleh para ayah desa ini.

Sepulang dari kerja keras mereka di pabrik, sawah, ladang, atau kebun, rupanya penciuman mereka sudah begitu majal karena asap pabrik, bau pupuk, bau kerontang kemarau, dan mungkin bau keringat mereka sendiri. Atau mungkin, hidung mereka terbiasa hanya mengenali segala hal yang busuk, yang buruk. Tidak mampu mereka menikmati aroma bumbu si Penjual Bumbu yang dihidangkan ibu, yang kaya cita rasa itu. Saat ditanya tentang ketiadaan pangan di rumah dan tubuh kami yang semakin tipis, ibu tidak bisa menjawab apa-apa, dan hanya memandang balik dengan air mata berlinang-linang karena kena marah. Para ayah makin tidak mau mengerti. Berkali-kali mereka bilang hal ini tidak masuk akal, tapi bagi kami merekalah yang sebenarnya waton, asal saja tidak mau menerima kenyataan yang ada.

Pada suatu malam yang gerimis, para ayah ini berkumpul di balai desa. Apa lagi, kalau bukan merencanakan bagaimana caranya agar Penjual Bumbu tidak lagi berjualan di desa kami.

Siangnya, alih-alih pergi bekerja, para ayah berduyun-duyun mendatangi pasar. Kedatangan mereka hampir bersamaan dengan kami anak-anak yang pulang sekolah, dan ibu-ibu kami yang meninggalkan tayangan gosip artisnya. Beberapa ayah awalnya berusaha bicara baik-baik pada Penjual Bumbu, memintanya tidak lagi berjualan di pasar desa kami. Permintaan ini ditanggapi dalam diam oleh Penjual Bumbu, pandangannya seperti bertanya apa salahnya. Kami yang justru jadi ribut. Ayah tega! Ayah ingin kami main pleistesyen sewaan saja?? Ibu-ibu kami juga. Pakne kok tega? Mbakyu Penjual Bumbu kan sama-sama cari makan seperti kita. Lagipula, tanpa bumbu Mbakyu Penjual Bumbu, aku nggak pede masak lagi! Pakne mau, kita semua kelaparan??

Dan entah bagaimana, akhirnya emosi kian meninggi. Para ayah ada yang tidak sabaran, dengan amarah menendangi tampah-tampah pengalas mangkok batok kelapa kering wadah bumbu aneka warna. Bumbu meruah, menyatu dengan tanah basah karena hujan tadi pagi. Tambah mengotori kaki dan sandal jepit kami yang memang tidak pernah benar-benar bersih. Aroma lezat mengeruyak, bercampur dengan tengik keringat kami, masam bau nafas mulut kami karena perut yang lama kosong.

Kami tidak terlalu ingat tepatnya apa yang lalu terjadi. Beberapa dari kami mengingat akhirnya seperti ini: Tampah dan banyak batok kelapa bergelimpangan. Penjual Bumbu meneteskan air mata tapi herannya tidak terdengar isaknya. Tak bersuara, tak menjawab panggilan para ibu dan kami anak-anak yang memohon ia tinggal. Penjual Bumbu beranjak pergi, melangkah ke arah bukit, memeluk bakul rotan yang hanya terisi lembaran daun pisang.

Aku juga tidak ingat apa yang terjadi. Tapi sampai aku dewasa begini, tiap kali kukunjungi ibu di desa, ibu masih mengeluhkan betapa ibu rindu akan aroma bumbu aneka warna si Penjual Bumbu, yang tanpa masuk ke mulut kami dapat membuat perut kami kenyang, tidur kami nyenyak, hati kami riang.

Kisah Ibu Penjual Daun Pisang

semburat kuning mentari subuh menemani langkah senjanya, kain krem bergaris merah melilit membungkus warna kelabu putih rambutnya. terseok berjalan menembus kesyahduan sisa subuh, berteman bakul bambu tua terbungkus kain jarik coklat lusuh. bakul tua berisikan lembar daun pisang yang sudah mulai menua di beberapa sisinya, dan beberapa sisir pisang raja yang nampak mulai kehitaman di beberapa bagiannya.

hari mulai hangat ketika tapak seoknya berhenti. tubuh senjanya didudukkan di atas trotoar kecil sebuah pasar yang masih bermimpi. keriput tangannya mulai membuka bungkusan bakul tuanya dan mengeluarkan semua barang dagangannya. mulailah ia meniti nafas menghitung detik menanti uluran tangan-tangan pembeli. hingga sisir demi sisir pisang berganti dengan sesuap nasi. hingga lembar demi lembar daun pisang menjadi pengobat perih.

ah, ibu tua,
di rumah tengah menanti seorang lelaki senja yang tak lagi bisa menjadi penyangga, karena majikan keji telah membakar segala impi. tubuh kokohnya tlah tercabut dari raga, langkah kaki citanya tlah sirna dari alam jaga, lenyap dihempas lautan amarah sang majikan di tanah seberang. bahkan untuk duduk pun tubuhnya tak lagi mampu menyambut.

kapitalis kian bengis, alam kaya hanya untuk penguasa, bahkan sedut nafas pun harus berebut.

ah, begitu banyak kisah terajut dan tersembunyi di balik tubuh-tubuh senja itu...

Kisah Pedagang Daun Pisang

Pagi itu terlihat seorang ibu tua berjalan menyusuri kebun pisang. Ia tersenyum menjalani rutinitas hidupnya sebagai seorang pedagang daun pisang. Dengan sedikit bernyanyi lirih ia mengambil satu persatu daun pisang kepunyaan haji Ali.
Terkadang ia hentakkan kakinya layaknya penari india sambil membawa bakul yang kini tlah penuh trisi daun pisang dan berharap ia dapat mendapat penghasilan.
Tak seperti biasanya ia berdagang di emperan itu, mulai dari pagi sekali hingga mejelang petang. Tidak lupa ia bersyukur pada Yang Maha Pencipta dengan melaksanakan kewajiban sholat yang lima waktu di sela-sela waktunya untuk berdagang.
dalam sehari penghasilannya tak menentu, kadang 5000,10.000, 15.000 atau lebih bahkan kalau lagi sepi yaaa.. ngelamun dech..
Pas jam 11 pagi tiba-tiba sepasukan Satpol PP menghampirinya, salah seorang dari mereka mengusirnya dan seorang lagi menendang bakul dagangannya hingga daun-daun pisang itu berserakan dan terinjak-injak. Ibu Tua menjerit, menangis, menciumi kaki komandan satpol agar tidak merusak dangannya. Namun malah cercaan dan hinaan yang ia dapatkan.
Bakulnya yang merupakan teman hidup selama ini telah berubah menjadi tempat sampah yang siap dibakar.
Ia meraung-raung menginginkan bakul itu. Hingga akhirnya ia terkulai tak berdaya melawan semua itu, hanya tetesan air mata yang mengiringi daun-daun pisang yang berserakan. Mungkin hanya do'a yang dapat terucap meratapi nasib yang tak berpihak...
Hanya satu kata penguasa yang terngiang ditelinganya yakni "Mewujudkan Masyarakat yang adil dan Makmur"
"Tuhanku,...... Aku serahkan Padamu Hidupku dan Matiku...."
Dalam butiran air mata ia memanggil nama-Nya....

Gantung Tas Sekolah demi Hidupi Keluarga

KEMISKINAN masih menjadi pemandangan sepanjang sejarah di negeri ini. Dalam negara yang salah urus tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan juga telah mengantarkan jutaan anak Indonesia tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas. Seperti yang dialami Hengki (16), salah seorang pengamen di kawasan Kalimalang. Dia harus merantau ke Jakarta di usia yang terbilang sangat belia.

Di usianya yang baru menginjak 10 tahun, Hengki merantau ke Jakarta bersama seorang saudaranya. “Saya niat merantau ke Jakarta untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Untuk bisa membantu orangtua di kampung," ujar Hengki saat berbincang dengan okezone, baru-baru ini.

Kemiskinan yang dialami keluarganya di Padang membuat sulung dari empat bersaudara ini harus rela menunda keinginannya bersekolah lebih tinggi lagi. Hengki rela menggantungkan tas sekolahnya untuk mengadu nasib di Jakarta. “Biarlah saya membantu orangtua mencari uang agar adik-adik tetap bersekolah,” tuturnya. Walaupun jumlah pendapatan yang dihasilkan dari mengamen di kawasan Kalimalang hanya Rp40.000 per hari, Hengki tetap menyisihkan sebagian penghasilannya untuk dikirimkan kepada orangtua di kampung.

Penghasilan yang minim tersebut didapatkan Hengki dengan mengamen dari pukul 11.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Pilihan berat ini dijalani karena tak ingin membebani orangtua. Hengki memutuskan tidak mau bergantung kepada siapa-siapa, termasuk untuk tinggal dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Dulu ketika masih melanjutkan sekolah, saya tinggal bersama saudara, tapi sejak lulus lebih banyak menghabiskan keseharian di jalan,” tutur Hengki.

Untuk urusan memejamkan mata pun dia lebih memilih berada di teras toko yang ketika malam hari sudah tutup. Keinginan untuk terus bersekolah pupus ketika kemiskinan menjerat keluarganya. Orangtua yang hanya seorang buruh tani dan tidak memiliki penghasilan tetap membuatnya pasrah menerima nasib. “Dulu ketika masih bersekolah di kampung, saya juga ikut bekerja di lahan pertanian tapi penghasilannya sedikit,” imbuh Hengki. Dengan pendapatan yang minim itu Hengki hanya bertahan bekerja selama dua bulan.

Lain halnya dengan kisah hidup si kecil Eki. Dengan usia yang baru menginjak 8 tahun, bocah ini harus membantu sang ibu menjadi pengemis di jalanan Ibu Kota. Aktivitas ini dijalani Eki sejak berusia dua tahun hingga kini.

Berbeda dengan nasib Hengki yang harus putus sekolah, Eki masih lebih beruntung dengan rutinitas mengemis dari pukul 13.00-21.00 WIB. Eki masih bisa bersekolah di pagi harinya. Siswa kelas 1 SD yang bersekolah di Jati Bening ini mengaku tidak pernah belajar setiap hari. “Kalau belajar cuma hari Minggu aja, karena kalau hari Minggu ngemisnya libur,” ujar Eki.

Faktor kebutuhan ekonomi kian tinggi dan penghasilan sang ayah yang hanya tukang cuci mobil, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Karenanya, ia dan ibunya harus rela mengemis demi meringankan beban ayahnya membayar uang sekolah. Ibu dan anak ini bisa menghasilkan Rp70 ribu sehari. Eki yang ingin terus sekolah hingga cita-citanya menjadi dokter ini berharap kehidupannya lebih baik suatu saat nanti. Membahagiakan kedua orangtua juga menjadi dambaannya selain mengejar cita-cita menjadi seorang dokter.

Perjalanan hidup Hengki dan Eki menjadi potret buram kehidupan anak Indonesia yang terpaksa berhenti sekolah dan turun ke jalanan karena kemiskinan. Mereka harus membantu orangtuanya mencari nafkah dengan untuk bertahan hidup. Akar persoalan anjal adalah kemiskinan sehingga penanganan dari masalah sosial ini harus berawal dari kemiskinan itu sendiri yang menyebabkan mereka turun ke jalan.

"Seandainya ada undang-undang yang melarang anak turun ke jalan itu malah bentuk kriminalisasi. Jadi pendekatan yang mesti dijalankan dalam menangani anak jalanan adalah mengatasi kemiskinan mereka," papar Kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulhin.

Menurut dia, hal terpenting terhadap penanganan anak jalanan adalah memikirkan pemenuhan jaminan kebutuhannya untuk membebaskan mereka dari kemiskinan sehingga tidak turun ke jalan. "Bisa dengan cara memberikan tempat tinggal, fasilitas belajar atau sarana usaha," kata Iqrak. Dia juga mengatakan, dalam konteks eksploitasi anak jalanan ini banyak modus. Pelakunya malah terkadang orangtuanya sendiri. Sebab itu, orangtua juga harus menjadi salah satu pusat perhatian, selain pihak-pihak lain yang mengorganisir mereka di jalanan.

“Program tabungan untuk anjal yang dilaksanakan oleh pemerintah bisa saja berjalan secara efektif  apabila dalam pelaksanaannya dana yang dianggarkan oleh pemerintah diberikan secara tepat sasaran,"  kata Sosiolog Univeritas Esa Unggul, Abdurrahman kepada okezone, baru-baru ini.

Dia menjelaskan, untuk mencarikan solusi terbaik untuk penanganan masalah anjal seharusnya pemerintah tidak hanya mengadakan program yang hanya mengucurkan dana begitu besar. Namun,  pemerintah sebaiknya memikirkan cara untuk memberikan tempat tinggal bagi anjal. Menurutnya, rumah yang dibangun untuk anjal tersebut sebaiknya digunakan untuk memberikan pendidikan agar mereka bisa dididik dengan ketrampilan. Dengan modal ketrampilan ini diharapkan mereka dapat mandiri dengan membuka usaha, sehingga pada akhirnya tidak kembali ke jalan.

“Pemerintah juga harus konsisten terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah jelas menyebutkan bahwa fakir, miskin dan anak jalanan dipelihara oleh negara,” tandas mantan Kepala Jurusan Jurnalistik Univeritas Esa Unggul itu.

Menurut dia, apabila amanat konstitusi tersebut bisa dilaksanakan dengan baik tidak mungkin jumlah anjal akan berkurang. "Pembangunan tempat tinggal untuk anak jalanan seharusnya bisa dibangun oleh pemerintah dan dikelolah
“Laskar Pelangi” karena tertarik kepengen nonton filmnya. Sebelumnya novel “Laskar Pelangi” sudah lebih dulu terkenal karena masuk jajaran novel “best seller”. Temen yang sudah lebih dulu baca mengingatkan, bacalah novel ini saat perasaan hati sedang senang. Ini mengindikasikan bahwa novel ini termasuk kategori bacaan berat. Tapi gw melanggar imbauan temen gw itu. Gw baca novel ini saat otak gw lagi “butek” karena kurang tidur. Dan ternyata, apa yang dibilang temen gw itu salah. Bagi gw novel ini “sangat renyah” dan sama sekali tidak berat.

Latar belakang kisah “Laskar Pelangi” yang menceritakan kehidupan di seputar sekolah kaum miskin yang reyot di Belitung terasa tidak terlalu aneh bagi gw. Sekolah seperti itu banyak bertebaran di daerah terpencil di Indonesia. Seperti: sekolah anak transmigran di Tulang Bawang Lampung (lihat: perjuangan anak transmigran).

Yang menarik adalah novel ini berisi cerita kehidupan masa kecil penulisnya (?) saat duduk di bangku SD, SMP hingga memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Bagi gw, daya tarik buku ini adalah pada daya juang anak-anak kaum miskin untuk meraih kehidupan di masa depan yang lebih baik melalui pendidikan.

Setelah membaca habis novel ini, bagian yang paling menarik justru terdapat pada Bab I: Sepuluh Murid Baru. Dalam bab ini diceritakan perjuangan Bu Mus Dan Pak Harfan bagaimana mendapatkan 10 murid SD kelas satu pada tahun ajaran baru agar sekolah Muhammadiyah di Belitong tetap dapat bertahan. Karena bila mendapat murid kurang dari 10, maka sekolah itu akan ditutup.

Setelah Bab ini, bab selanjutnya bagi gw seperti bernostalgia berkunjung ke Belitung. Tentang kondisi lokasi tambang timah dan kehidupan masyarakatnya. Tentang kesenjangan sosial antara karyawan PN Timah dan penduduk sekitar yang bak “langit dan bumi”. Tentang perjuangan 10 murid SD Muhammadiyah hingga terlepas dari kemiskinan. Dan tentang kesuksesan sang penulis mencapai cita-citanya dari anak buruh tambang yang miskin hingga mendapat bea siswa sekolah ke perguruan tinggi.

Rasanya tidak aneh kalau banyak yang suka dengan novel ini. Karena novel yang mengangkat kisah pahit getir kehidupan masyarakat bawah yang ditulis secara gamblang, tanpa “tedeng aling-aling” dan mengalir seperti air, sesuai apa pemikiran penulisnya.

Sehabis membaca novelnya, rasanya tidak sabar menantikan bagaimana jadinya bila kisahnya diangkat ke layar lebar. Melihat kembali setting Belitung belasan tahun silam. Dan keindahan edensor seperti yang diungkapkan penulisnya. Apakah kesan yang timbul bagi penonton tentang keindahan edensor sama dengan yang dikisahkan Andrea Hirata, sang penulis novel ini.

anak sekolahtransmigran
Perjuangan Anak Transmigran

Para remaja ini baru pulang. Setelah sejak siang berkutat dengan pelajaran di kelasnya. Mobil angkutan ini adalah satu dari dua mobil angkutan umum yang melayani murid sekolah ini. Sekilas para remaja belasan tahun ini tak berbeda dengan pelajar SMA lainnya, namun sekolah mereka berbeda dengan sekolah lainnya di kawasan ini, karena mereka bersekolah secara gratis.
Dua dari tiga remaja ini adalah Puspita dan Rukminah. Sejak delapan bulan yang lalu, keduanya bersekolah tanpa dipungut uang SPP dan uang bangunan, di sebuah Sekolah Menengah Atas di Tulang Bawang, Lampung.
Tugas-tugas rumah tangga yang sedang diselesaikan ini dikerjakan tanpa paksaan dari pemilik rumah. Mereka melakukannya sebagai balasan atas kebaikan pemilik rumah yang memperbolehkan mereka tinggal di rumah ini.
Mereka tinggal di rumah ini karena rumah mereka jauh dari sekolah. Ditambah kondisi jalur transportasi yang buruk, membuat jarak rumah mereka dengan sekolah ini sulit ditempuh. Idealnya, mereka tinggal di asrama. Namun karena keterbatasan dana, pihak yayasan pengelola sekolah menitipkan mereka kepada warga setempat, ataupun pondok-pondok pesantren.
Sebagai kompensasinya, murid-murid sekolah yang dititipkan ini, membantu meringankan pekerjaan pemilik rumah, baik di rumah, di kebun, maupun di toko.
Ini adalah Asnawi. Ia juga murid SMA gratis di Tulang Bawang, Lampung. Pagi hari sebelum masuk sekolah, pemuda berusia 17 tahun ini, membantu menyadap, dan merawat pohon karet di perkebunan milik bapak asuhnya. Ia merupakan anak ke-enam dari tujuh bersaudara yang bercita-cita menjadi polisi. Orangtua Asnawi merupakan peserta program transmigrasi pada era tahun 80-an.
Sekolah gratis ini didirikan atas gagasan sekelompok orang yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Peduli Transmigrasi Indonesia (HMPTI). Mereka prihatin, karena taraf hidup keluarga transmigran di tempat ini masih jauh dari harapan.
Sekolah gratis yang didirikan pada tingkat Sekolah Menengah Atas, karena banyak anak-anak yang putus sekolah pada tingkatan ini. Yang dapat bersekolah disini adalah mereka yang berasal keluarga transmigran tidak mampu, muridnya berjumlah 140 orang.
Meski telah berdiri sejak dua tahun lalu, sekolah ini belum memiliki gedung sendiri. Mereka meminjam gedung sebuah Sekolah Dasar Negeri di Desa Banjar Agung.
Walau tidak dipungut bayaran, menurut Muslihuddin, Kepala Sekolah SMA HMPTI, antusiasme murid untuk mereguk ilmu di sekolah ini sangat tinggi. Karena inilah satu-satunya pilihan yang mereka miliki untuk menggapai cita-cita.
Mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin undang-undang dasar. Namun tak dapat dipungkiri, belum semua warga negara dapat menikmati pendidikan yang layak. Keberadaan sekolah gratis anak-anak transmigran ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Karena siapa tahu, para pemimpin bangsa ini kelak, merupakan lulusan sekolah semacam ini. (Lengkapnya lihat: www.indosiar.com/news/horison)

Kisah Penjual Kayu

Pada suatu desa di tepi hutan, hidup seseorang yang hidupnya sebagai penjual kayu. Hidup yang dijalaninya penuh dengan keikhlasan, rasa bersukur yang tinggi dan rasa berserah tinggi terhadap Allah. Sehingga dalam keluarganya yang sederhana selalu dalam ketentraman dan kebahagiaan.

Pada suatu hari terjadi malapetaka di kota terdekat, yaitu terjadi banjir dan beberapa rumah penduduk kota yang roboh atau hilang. Mendengar ini si penjual kayu menjadi prihatin dan bersimpati untuk menyumbang kayu kepada korban banjir tersebut. Akhirnya dikumpulkan kayu2 hutan yang ada didekat rumahnya dan dikirim kepada korban banjir tersebut.

Ada juga seorang pengusaha kayu yang melihat ternyata si korban banjir yang membangun rumahnya dengan menggunakan kayu-kayu yang bagus mutunya. Dan pengusaha kayu mendatangi seorang korban banjir tersebut. “Kayu-kayu anda sangat bagus sekali, dari mana membelinya ? saya juga mau membeli kalau bapak mau menunjukkan penjualnya”.

Si korban banjir akhirnya menceritakan asal-usul kayu tersebut. Lalu keduanya membuat kesepakatan yang mereka buat.
Sang korban banjir akhirnya mendatangi si penjual kayu, dan menyatakan minta bantuan lagi kayu dengan alasan masih kurang untuk membangun rumahnya tersebut. Dan si penjual kayu juga memberikan sesuai kebutuhan si korban banjir.
Beberapa kali si korban banjir meminta kayu lagi, si penjual kayu juga agak heran, kenapa masih kurang terus. “Karena kayu-kayu kemarin juga diminta tetangga saya yang rumahnya juga rusak oleh banjir tempo hari” itu alasan dari si korban banjir.
Meskipun diliputi rasa penasaran, si penjual kayu tetap saja memberikan kayu sesuai permintaan si korban banjir, karena merasa kasihan kalau rumahnya belum selesai juga. Sementara itu si penjual kayu juga berusaha tahu apa yang terjadi dengan rumah si korban banjir tersebut.

Dan akhirnya si penjual kayu mengetahui bahwa ternyata kayu-kayu yang disumbangkan tersebut dijual kepada si pengusaha. Tetapi ternyata si penjual kayu tidak menjadi geram atau marah.

Pada hari berikutnya si korban banjir datang lagi ke si penjual kayu dan menyatakan masih butuh bantuan kayu lagi. Dengan alasan untuk menyelesaikan ruangan dapurnya. Dan si penjual kayu bersedia memberikan bantuan tetapi si penjual kayu membutuhkan tenaga untuk mengurus kayu-kayu yang diminta. Si korban banjir menjanjikan akan mengirim orang untuk membantu si penjual kayu.

Selanjutnya si penjual kayu mempersiapkan lahan-lahan disekitar rumahnya. Pada waktu tenaga-tenaga yang dikirim oleh si korban banjir datang, mereka disuruh untuk membersihkan lahan. Dan setelah selesai membersihkan lahan, si korban banjir menanyakan kapan kayunya akan diangkut. Sipenjual kayu menyuruh untuk datang lagi seminggu lagi.

Setelah seminggu sesuai yang dijanjikan oleh si penjual kayu, si korban banjir datang dengan membawa tenaga untuk mengangkut. Tetapi oleh si penjual kayu, orang-orang tersebut malah disuruh lebih dulu untuk menanam biji-biji kayu pada lahan yang sudah dipersiapkan seminggu sebelumnya. Setelah selesai pekerjaan tersebut, dengan tidak sabar si korban banjir menanyakan tentang kayu yang telah diminta sebelumnya.

“Mana kayu yang akan disumbangkan kepada kami, sementara saya juga sudah siapkan orang-orang untuk membantu mengangkut” tanya si korban banjir.
“Kayu-kayu sudah cukup saya kirim untuk membantu bapak sehingga hutan di sekitar menjadi habis, kalau memang mau kayu lagi ya bapak harap sabar untuk menunggu kayu yang baru saja kita tanam tadi” jawab si penjual kayu.

hidup sederhana, bukan miskin

sayang, aku tak bisa berjanji akan membuatmu hidup penuh dengan kegelimangan harta. Aku hanya menawarkan hidup sederhana, dengan segudang cita dan semangat yang kupunya. Semoga itu dapat membahagiakan kita, setidaknya anak-anak kita bisa belajar dari pilihan-pilihan hidup yang kita ambil”

Sesaat saya terdiam, merenungi kata yang kurangkai sendiri. Kata-kata ini memang belum menemukan pelabuhan yang resmi lagi, pelabuhan yang mengikat biduk cinta dan pengharapan. Tapi, aku masih menantikan ia hadir di akhir pendakian gunung besar saat ini.
Sejatinya, hidup ini adalah serangkaian pilihan. Itulah yang dulu tertanam dan sampai saat ini membuat saya dewasa. Bukan sebagai apologi atas segala pilihan yang dinilai salah oleh orang-orang. Menjadi Diri Sendiri adalah sesuatu yang terkadang bagi sebagian besar orang sulit, termasuk saya.
Sekian gunung mengajarkan saya untuk pandai-pandai memilih jalan. Ya, ini salah satu hikmah masuk PHIPETALA yang tidak tertulis kemarin. Selain itu, memilih jalan terkait juga dengan pengharapan. Antara ingin dan tidak ingin, juga antara tujuan dan proses pencapaian. Karena kebahagiaan bukan sekedar akhir dari tujuan, melainkan juga prosesnya. Ya, filosofi yang ini memang terkait filosofi telur-ayam. Tapi, begitulah. Kita harus memilih untuk memandang dari telur, atau dari ayam dulu. Kita mau memandang dari kali pertama yang mana, sehingga kita bisa mengatakan yang ini proses dan yang lainnya tujuan.
Belajar bersyukur dengan sekian nikmat yang Allah SWT berikan di kehidupan kita, semestinya membuat kita makin awas. Ya, namanya belajar mestilah ada nuansa jatuh-bangun. Kali ini saya ingin mengajak calon pendamping saya lebih memahami, bahwa hidup tak selamanya berjalan seperti yang terkira.
Peristiwa masa lalu, pun termasuk peristiwa yang saat ini (kuliah ke Belanda). Mengajak saya untuk lebih awas, terhadap segala HTAG (halangan, tantangan, ancaman dan gangguan) yang tidak pernah berhenti menggoda. Sejujurnya saya mudah tergoda, saya tahu dimana saya lemah, saya berusaha untuk tidak terkalahkan (lagi). Bismillah..
Lanjut, maka hidup sederhana yang dibangun bukan berarti menyengsarakan diri. Bedakan, hidup sederhana bukan berarti miskin. Semangatnya adalah semangat memenuhi kebutuhan diri, bukan keinginan. Kalaupun ada lebihnya itu hak orang lain.
Maka, kita coba sekarang. 18 juta rupiah ini sebagai awal perjalanan hidup kita membangun mimpi. Meski dengan begitu artinya, saya harus ekstra keras dan cerdas untuk bisa bertahan hidup di negeri ini dan untuk membeli tiket pulang ke mimpi kita. Sekali lagi, bismillah.. Allah Maha Tahu, kita bisa.