Pengemis Jalanan

Pengemis Jalanan dapat diartikan orang yang meminta-minta dipinggir jalan. Kita sering menjumpai mereka ini mangkal di depan-depan pasar tradisional sambil menengadahkan tangan dengan muka yang menghiba. Bahkan tak jarang kita menjumpai mereka di depan Masjid Istiqlal dan Masjid Raya Pondok Indah Jakarta Selatan. Ada yang berani Mengembalikan mereka ke kampung halamannya?
Ironis memang. Disaat orang sholat Jumat untuk memenuhi perintah-Nya, mereka malah mengemis. Pengemis laki-laki tidak sepatutnya melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma agama ini. Bagaimana bisa kita Mengembalikan Jati Diri kalau banyak anak Bangsa yang berprilaku seperti ini?
Jadi sudah sepantasnya bila MUI Jawa Timur mengeluarkan Fatwa Haram mengemis dan di amini juga oleh MUI Pusat. Bahkan Pemda DKI sudah mengeluarkan Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Pada intinya pasal itu memberikan sangsi bagi kita yang kedapatan memberikan uang kepada pengemis dan saksi utama tentu saja kepada pengemis itu sendiri. Ini Perda. Tujuannya untuk membuat Bangsa ini lebih dihargai.
Namun terlepas dari pro-kontra yang ada, kita kembalikan kepada kita semua tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi para Pengemis. Toh, kenyataannya memang masih banyak sekali saudara-saudara kita yang memang masih sangat membutuhkan uluran tangan. Dan ini adalah tugas Departemen Sosial untuk membina mereka agar nantinya mereka dapat hidup mandi dan meninggalkan dunia Pengemis Jalanan. Artikel lengkapnya dapat ibu-ibu baca di postingan yang berjudul Mengembalikan Jati Diri Bangsa

curahan seorang sahabat pengamen

Pernahkah rumah Anda didatangi pengamen? Bagaimana perasaan Anda terhadap mereka? Bagaimana sikap Anda terhadap mereka?

Pengalaman pahit dialami oleh teman saya. Dia merasa sangat sakit hati terhadap sikap pengamen. Pada siang hari saatnya tidur siang, pengamen menyayikan lagu ST 12 di depan pintu. Genjrengan dan suaranya memekakkan telinga dan tidak pergi-pergi. Teman saya tadi terbangun dan menyuruh anaknya mengulurkan dua ratus rupiah pada kantong plastik si pengamen. Tidak diduga dan tidak dinyana-nyana pengamen itu melempar dua keping uang seratus rupiah itu dan pergi.

Teman saya sakit hati dibuatnya. Dia merasa sikap yang dilakukan oleh pengamen itu adalah sebuah penghinaan. Teman saya yang saya ceritakan tadi adalah orang yang bertekad kaya. Sekecil apapun uang dia menaruh penghargaan besar. Dia berpendapat bahwa uang yang besar terdiri dari uang-uang kecil yang terkumpul. Selain karena alasan penghormatan terhadap unga, alasan lain teman saya adalah karena sehari bisa lebih dari lima pengamen datang di rumahnya. Jika sehari ada lima pengamen maka jika setiap pengamen diberi dua ratus rupiah saja maka sehari keluar uang seribu. Bagaimana jika satu bulan?

Kemudian, kenapa pengamen tersebut membuang uang dua ratus rupiah? Mungkin karena pengamen juga merasa terhina karena tampangnya yang ganteng, genjrengannya yang ciamik, dan suaranya yang nyaring hanya dihargai dua ratus perak.

Tentu kita masih ingat lagu Meggi Z, “Semut pun kan marah dan berusaha membalas bila dia dihina dan diinjak” apalagi pengamen?

Pengamen, sesungguhnya adalah penghibur. Mereka datang di rumah kita untuk menawarkan jasa dan kemampuannya menyayi untuk menghibur hati kita yang mungkin sedang gundah gulana dihimpit tagihan.

Pengamen sebenarnya sejajar dengan penyayi-penyayi kafe, orkes melayu, grup band, yang berusaha menawarkan jasa hiburannya. Hanya tempat dan upahnya saja yang berbeda. Upah inilah yang jadi biang masalah. Jika penyayi panggung dan group band upahnya sudah jelas dan disepakati di awal pementasan, tidak demikian halnya dengan pengamen. Tarifnya tidak jelas. Mereka dibayar tergantung sisa receh di dalam saku dan sesuai keikhlasan 'pemirsanya'.

Keprofesionalan adalah hal yang membedakan antara pengamen dengan profesi penghibur yang lain. Seringkali pengamen tidak hafal satu lagupun, hanya mengulang-ulang reff melulu. Mereka seakan mengamen hanya ingin mencari uang dengan mudah tanpa bekerja lebih keras. Tapi tentu saja, tidak semua pengamen demikian, ada juga pengamen yang profesional, menyanyi dengan sungguh-sungguh, dengan kualitas sajian yang sungguh-sungguh pula.

Bagaimana menyikapi pengamen? Mari kita menyikapi pengamen sebagaimana mereka menampakkan dirinya. Pengamen seringkali menampakkan dirinya antara sebagai penghibur, pengemis, dan preman.

Pengamen profesional kita hargai keprofesionalannya, yang bermental pengemis kita hargai usahanya, tapi yang pengamen yang preman kita boleh memanggil hansip dan menyerahkannya ke pihak yang berwajib.

Warga perkotaan terutama perumahan paling takut terhadap pengamen jenis ini. Kalau mereka berbuat apa-apa terhadap pengamen, mereka takut mendapat ancaman di kemudian hari. Hal ini terjadi karena sistem pertahanan kampung di perumahan tidak terjadi. Tetangga yang tidak saling kenal maka tidak mungkin saling dapat menjaga. Untuk itu kumpul-kumpul dengan sesama warga dalam sebuah wilayah sangat perlu diselengarakan untuk membentuk sistem pertahanan kampung demi mewaspadai ulah pencuri, pencoleng, preman, dan pengamen berlagak preman.

Pengamen Juga Manusia

Pengamen, yang selalu dapat kita jumpai tiap hari di jalanan,buskota, rumah makan, sampai kereta api, seperti menempati posisi yang tidak menguntungkan pada kelas sosial masyarakat.
Bagi mereka, pekerjaan mereka sama mulianya dengan profesi lainnya. Dan oknumlah yang melahirkan konotasi negatif dari pengamen. Sama seperti konotasi negatif bagi polisi, pejabat, pengusaha, seniman, dokter, guru yang diimbaskan oknum. Namun  sebagian masyarakat seperti tidak mau tahu, profesi ini tetaplah bernada miring, fals. Yang mereka tahu, pengamen adalah kumpulan manusia malas, pemaksa, dan amat mengganggu.
Di Jakarta, jumlah pengamen mencapai ribuan orang. Sebagian dari mereka menyadari konotasi miring yang ditujukan kepada mereka. Lalu mereka biasanya membentuk kelompok atau kantung-kantung kesenian jalanan sebagai semacam pembelaan. Salah satu komunitas yang terkenal dan sudah punya basecamp permanen adalah Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ) Bulungan pimpinan Anto Baret. Di Bekasi Barat ada komunitas pengamen bernama Penyanyi Bekasi Barat (PBB), kemudian di daerah Bendungan Hilir ada yang namanya “Anak Benhill” sementara di daerah jalan ImamBonjol depan gedung Gani Jemat “Anak Bonjol”. Setiap komunitas biasanya punya kegiatan masing-masing, ada yang menggelar arisan ada juga yang bikin grup Band kecil-kecilan.
Pengamen-pengamen yang tergabung dalam komunitas semacam itu bahkan mengaku mereka bukan tipe pengamen yang membawakan lagu asal-asalan atau meminta uang secara paksa kepada penumpang. Meski beberapa dari mereka bertampang seram dengan tubuh penuh tato, tetapi mereka tetap berusaha ‘tampil’maksimal di depan penumpang. Mayoritas suara mereka juga bagus-bagus.
Cara ‘ngamen’ di Jakarta memang macam-macam, ada yang hanya bertepuk tangan sembari menyanyi dengansuara tak jelas juntrungannya. Ada yang berorasi membaca puisi, ada yang main sulap dan sebagainya. Tapi kelompok pengamen yang mangkal di sekitar terminal Blok M mempunyai klasifikasi sendiri mengenai orang-orang yang boleh disebut pengemen. “Yang disebut pengamen bagi saya bukan cuma nyanyi, dia boleh saja membaca puisi atau kalau perlu bermain drama di atas bis, istilahnya  showbiz atau show diatas bis, dan harus menghibur. Jika tidak menghibur seperti cuma tepuk tangan atau berdendang dengan botol plastik kosong yang ditepuk-tepuk, itu bukan sih pengamen Mas ” kata Reno, salah satu pengamen terminal Blok M.
Cherry, salah seorang pengamen yang biasa mangkal di  Bendungan Hilir mengaku sebal dengan ulah orang-orang mengaku pengamen dan minta uang secara paksa “Mereka itu bukan pengamen, tapi kriminal yang pura-pura jadi pengamen.” kata Cherry tegas.
Yang lebih ekstrem, ada sekelompok orang yang berlagak pengemen di biskota, tapi kemudian bukannya menjual suara malah mengaku baru keluar dari penjara. Buntutnya minta uang dengan nada ancaman kepada penumpang.
“Terus terang mas, saya dan teman-teman pernah gebuki orang model begitu waktu mereka lewat jalur kita di Benhil, biar kapok mereka!” lanjut Cherry  gemas.
Keberadaan orang-orang semacam itu memang meresahkan, bukan saja meresahkan penumpang tapi juga meresahkan para pengamen ‘asli’ yang identitasnya merasa tercoreng. Akibatnya masyarakat mengeneralisasi profesi pengamen.
Padahal sekarang ini tak sedikit pengamen yang berhasil menjadi penyanyi terkenal, sebut saja Iwan Fals, Didi Kempot, Angel Mama Mia, dan yang paling hot,  Januarisman atau Aris, yang sekarang menjadi kandidat kuat pemenang Indonesia Idol 2008. Mereka adalah orang-orang yang berhasil menaklukan kerasnya jalanan Ibukota. Dan yang jelas ini juga bukti, bahwa stereotip pemalas, tukang minta-minta dan pemaksa adalah tidak sepenuhnya benar dialamatkan kepada mereka. Diantara mereka ada yang benar-benar berjuang setengah mati hanya demi menyambung hidup.

Punk dan Keresahan Masyarakat

Berbagai media mulai menulis dan menayangkan pelbagai masalah dalam masyarakat yang berkaitan dengan keresahan-keresahan yang terjadi akan aktifitas kumpulan manusia yang tampak eksentrik yang mereka menyebut dirinya punk, keresahan–keresahan yang terjadi mungkin juga mengada-ada tapi juga mungkin memang ada, aktifitas para punker ini dinilai kurang biasa dan kurang bisa di terima di masyarakat.
Dandanan norak dan pola hidup yang kurang biasa para Punker,kadang tidak dapat di toleransi masyarakat ,menggelandang itu istilah yang digunakan masyarakat untuk perilaku punker yang selalu melakukan aktifitas di jalanan, baik cari makan,sampai tidur dilakukan dijalanan. Apakah punk identik dengan gelandangan atau anak jalanan dan apakah Punk adalah sikap dan budaya yang meresahkan mungkin disini kita mulai melihat dengan persepsi yang lebih kaya.
Punk adalah suatu subculture yang esoteris dan dapat dikatakan radikal dan fundamental ,mengapa radikal dan fundamental karena secara filosofis Punk berbicara tentang kebebasan dan pembebasan atas keterkekangan dan keterasingan baik secara budaya maupun politik. Punk mengembalikan manusia sebagai manusia yang bebas. Nilai dan norma adalah bentukan yang harusnya merupakan suatu pemaknaan bukan sebuah penjara budaya, dimana manusia yang di dalamnya terasing terhadap norma dan nilai yang mereka sendiri tegakkan.Punk coba membangun nilai dan normanya sendiri agar tidak terasing dan terjebak. Punk awalnya adalah sebuah kesadaran atas apa yang terjadi dimana penindasan dan diskriminasi merajalela, rasialisme, fasisme dan perang yang menghantui bangsa manusia. Budaya dan politik yang tidak sehat telah membentuk Punk menjadi sedemikian rupa. Kalau para Punker dianggap meresahkan mungkin sejak awal memang "meresahkan".
Perilaku punker di Indonesia yang meresahkan masyarakat?. Pelbagai aktifitas punk di Indonesia baik yang tampak maupun yang samar sampai gak kelihatan pun beraneka ragam. Aneka ragam bentuk aktifitas punk seperti bekerja atau berkarya atau segala macamnya pasti berbau dan berasa sebuah pembebasan, pembuatan gig musik secara mandiri, bekerja secara kolektif, berkarya dan melakukan kegiatan yang berhubungan aktifitas ekonomi,atau apapun ketika ada label punk disana pasti ada berbau sebuah pembebasan,namun kalau kita lihat punker pada saat ini yang cukup popular di media dan di seputar obrolan masyarakat adalah tindakan-tindakan negative dan sarat akan stereotype negatif.
Jalanan yang kasat mata kita lihat adalah sebuah tempat yang penuh aktifitas manusia, karena jalanan adalah tempat berkumpul dan berinteraksinya masyarakat, punker kadang mememilih beraktiitas dijalanan dan berinteraksi dengan masyarakat, konflik yang membuat akhirnya punk dianggap meresahkan adalah sebuah konflik perlu di pahami dan diselami, ketika punk dengan aktifitas yang di bilang meresahkan itu bersifat criminal atau merugikan orang lain maka apakah hal tersebut dapat di katakana sebuah aktifitas pembebasan. Menurut penulis masyarakat pasti bisa menilai tanpa melihat atribut saja.
Punk akan tetap eksis apabila dapat melakuakn aktifitas yang mewarnai dengan filosofi itu sendiri. Jalanan akan menjadi sebuah tempat aman dan nyaman apabila punk dapat berinteraksi dengan baik dan tidak meresahkan, masyarakat butuh melihat punk dalam wujud sebenarnya , bukan sebuah keresahan .....
Ketika sibuk akan sebuah pengakuan (eksistensi) punk lupa bahwa pengakuan itu muncul dari siapa, masyrakat diluar tetaplah mayoritas yang mendominasi sebuah persepsi dan datangnnya pengakuan atas minoritas, namun punk sebagai minoritas, masalah dominasi ini adalah secara kultural dan normatif atau disebut juga adat mayoritas. Punk hidup sebenarnya sangat esoteris (dariberbagai budaya) dengan mengambil yang ideal dan positif walaupun setiap hal tidak luput dari ambivalensi (baik dan buruk) namun hal ini menjadi tantangan atas pengakuan. Punk awalnya ingin eksis dengan sebuah pemikiran pembebasan yang mencerahkan dengan berbagai pemahamn atas penolakan perbudakan dan penindasan, pola hidup konsumtif dan menolak kekerasan dan perang, hal ini tergambar dari bentuk punk yang penuh simbol, dari sini dapat di lihat punk adalah sebuah simbol,namun simbol ini tak bertuan siapa saja baik yang paham maupun tidak paham dapat mempunyai simbol ini....semoga punk dapat lebih dilihat dengan benar.

Kisah anak punk


Anak Punk Ga Selalu Reseh..!

Jangan selalu mencap miring anak punk, kalo belon dekat. Mereka emang cuek, tapi juga tau diri. Kenapa mesti berpakaian lusuh?

“Awas anak punk!” Peringatan kayak gitu masih sering terdengar begitu melihat segerombolan anak punk di jalan. Maklum, penampilan anak punk emang bikin “keder” banyak orang. Jaket lusuh yang dipenuhi emblem, sepatu boots Doc Mart, celana panjang ketat, spike (gelang berjeruji) di tangan, rambut tajamnya yang bergaya mohawk (mohak) bikin punkers terkesan garang.

Bukan hanya penampilan yang membuat imej punk jadi “lain” dari komunitas remaja kebanyakan, tapi juga tingkah mereka. Bergerombol di jalan, kadang sampe pagi, dan kadang suka terlibat tawuran. Maka, kompletlah punk kena cap sebagai komunitas yang bermasalah. Padahal, apa sebenernya anak punk kayak gitu? Tukang bikin rusuh?

“Salah banget kali, orang-orang ngelihat kita kayak sampah masyarakat. Mereka yang mikir begitu, sebenarnya nggak tau apa-apa tentang kita,” kata Oscar, salah satu anak punk Jakarta Timur (Sorry, musti pake’ nama samaran).

Menurut Oscar, penampilan punk yang lusuh bukan berarti kelakuan mereka juga minus. Apalagi penampilan kayak gitu udah menjadi cirri khas punk. Mungkin kelihatan lusuh, dekil, kayak orang aneh, tapi kita nggak pernah ngelakuin tidak criminal kayak maling. “Kalo ada anak punk yang malak, dia nggak ngerti arti punk sebenarnya. Mungkin cuma dandanan luar doang yang punk, dalemnya nggak tau apa-apa,” tambah cowok berusia 16 tahun ini serius.

Tapi nggak bisa dipungkiri, penampilan, penampilan punk yang sering kelihatan lusuh nggak terlepas dari sejarah kelahiran punk itu sendiri. Menurut Oscar, punk lahir di jalanan, dari orang-orang yang tertindas kayak gembel, buruh dan gelandangan yang benci sama kapitalis di Eropa. Mereka benci ama orang kaya yang serakah dan penindas orang miskin.

“Mereka akhirnya terbuang, sampe terus bikin komunitas sendiri. Tapi, kalo lantas dianggap kriminal, ya salah. Punk malah punya jiwa sosial dan solidaritas yang tinggi, terutama buat kelompoknya. Mereka juga memihak rakyat kecil,” jelas Oscar panjang lebar.

ANAK PUNK

Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik.
Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.
Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal.
Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker.
Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan bahkan masalah agama.

Kais Rejeki dari Jual Koran

Jumino merupakan salah satu penjual koran di lingkungan kampus Universitas Kristen Satya Wacana. Pria yang akrab dipanggil “Jum” ini memulai profesinya dengan berjualan koran di sekitar Jalan Jenderal Sudirman — sekarang lebih dikenal dengan “Pujasera”.
Ketika saya wawancarai, pria 30 tahun ini bercerita, “Tahun 1999, aku memilih pindah dari Pujasera dan jualan di UKSW, karena disini memberikan hasil (jualan) yang lebih baik. Tidak heran juga sih, karena UKSW punya banyak pelajar yang butuh informasi tiap hari. Selain itu, jualan di sini juga enak, tidak harus bayar. Cuma harus ijin ke pihak Kamtipus (Keamanan dan Ketertiban Kampus — Red).”
Disinggung soal prosedur tentang ijin, Jumino menjawab sambil tersenyum. “Ribet ga ribet tergantung ada tidaknya relasi dengan pihak Kamtipus di kampus.”
Jum bilang, dengan jualan koran, dia bisa cuci mata serta menambah pergaulan. Tidak hanya dengan mahasiswa, tapi juga dengan para dosen. “Aku jadi lebih pintar, karena aku bisa baca koran yang aku jual tiap hari, serta bisa diskusi banyak hal dengan mahasiswa maupun dosen,” tuturnya.
Pria yang hanya lulusan SMP ini menuturkan, “Mahasiswa membaca tergantung dengan hobi mereka. Kalau mereka suka olahraga, mereka baca olahraga. Kalau cewek, lebih banyak baca gosip selebriti atau mode.”
Ketika ditanya apakah Jum malu melakoni pekerjaan ini dan bergaul dengan para mahasiswa, ia tersenyum. “Aku nggak minder karena aku harus belajar dengan orang lain juga,” ucapnya.
“Aku hanya sedih ketika musim hujan tiba, karena aku tidak bisa berjualan sehari penuh. Itu berarti pendapatanku juga berkurang,” keluh pria yang juga piawai memainkan alat musik gamelan ini.
Penghasilan yang didapat Jum memang tak banyak: sekitar Rp 20-25 ribu per hari, tergantung jumlah majalah maupun koran yang dia jual setiap hari. “Rata-rata dalam sehari aku bisa jual lima belas eksemplar majalah atau koran. Tetapi aku juga pernah hanya bisa menjual enam eksemplar dalam sehari. Ababil Agency yang ada di sekitar (Jalan) Seruni yang akan menentukan pendapatanku hari itu, yaitu sebesar sepuluh persen dari bandrol,” terang Jum.
Uang Rp 20-25 ribu per hari memang bukan jumlah yang besar. Tuntutan keadaan yang memaksa Jum tetap bertahan untuk berjualan koran di lingkungan kampus. Suatu saat bila sudah ada modal, Jum berharap bahwa dia bisa mendirikan kios sendiri atau akan banting stir ke profesi lain. Jum memilih untuk mendirikan peternakan. “Itupun kalau modalnya ada,” pungkasnya.