Mereka di Jalanan Demi Sesuap Nasi

Fenomena anak jalanan, gelandangan dan pengemis memang menjadi masalah yang seolah tak pernah terhenti. Bahkan, dari beberapa hasil riset disebutkan bahwa setiap tahunnya, jumlah gelandangan dan anak jalanan semakin meningkat. Mereka mengaku tak memiliki pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selain mengemis atau meminta-minta.

Salah satu anak jalanan yang ditemui di kawasan jalan Marsda Adisutjipto, Sleman Yogyakarta, Fitriana mengungkapkan, sejak usia 5 tahun, ia telah diajak orang tuanya untuk terjun ke jalanan. Pada mulanya ia tak pernah tahu jika ritual meminta-minta yang diajarkan ibunya tersebut pada akhirnya menjadi pekerjaannya setiap hari hingga usianya kini 9 tahun.

"Dulu waktu masih TK saya cuman diajakin ibu ke jalan setelah pulang sekolah. Terus diajari 'ngemis' di perempatan lampu merah sampai sekarang. Tapi biasanya mulai siang karena paginya harus sekolah dulu," ujarnya ketika berbincang dengan KRjogja.com, Kamis (19/2).

Fitri mengaku kebiasaan meminta-minta ini telah dilakukan orang tua beserta 2 orang kakaknya sejak ia masih sangat kecil. Sementara sang ayah bekerja tak tentu. Terkadang ayah Fitri hanya menjual pungutan botol plastik bekas air mineral. Kadang juga menarik becak milik
tetangganya. Sesekali, ayahnya juga ikut menjajakan koran di jalanan bersamanya. Keluarga Fitri mengaku harus melakukan ini karena ingin membiayai sekolah.

"Ya gimana lagi, keluarga saya memang tidak memiliki pekerjaan tetap. Padahal saya dan kakak saya harus sekolah. Makanya harus ngemis atau jualan koran. Kadang kalau hujan kami juga menawarkan jasa lap kaca mobil atau motor. Kadang juga sekedar membersihkan debu di kendaraan. Pokoknya apa saja asal dapat duit," katanya.

Menurutnya, pihak sekolah juga mengetahui jika ia sering mengemis usai pulang sekolah. Namun hal tersebut sama sekali tidak dilarang oleh gurunya. "Ibu guru tau, teman-teman juga tau. Tapi saya gak pernah dilarang. Yang penting tetap masuk sekolah saja," ujarnya.

Penghasilan dari meminta-minta di jalanan diakui cukup lumayan. Jika sedang mujur, ia bisa mengantongi uang hingga Rp100.000 tiap harinya. "Tapi gak pasti juga, kadang sehari cuma dapat Rp30.000-Rp50.000. Lumayan bisa untuk makan dan bayar sekolah," katanya.

Sementara itu, orang tua Fitri yang tak mau menyebutkan nama mengaku terpaksa melibatkan anaknya untuk ikut mencari uang di jalanan. "Sudah miskin mbak, mau cari kerja apa lagi kalau bisanya cuman ngemis. Dulu sih pernah jualan, tapi yo malah rugi kok," akunya.

Dikatakannya, lingkungan sekitar tempat tinggalnya memang kebanyakan gelandangan. Tetapi ia membantah jika tergabung dalam sindikat besar. "Gak ada bos-bosan. Ya cuman bareng teman-teman aja. Anak saya juga gak tak paksa dan pagi mereka tetap sekolah," katanya.

Beberapa kali, ia dan keluarganya juga kerap dibawa oleh satpol PP dan dibawa ke rumah singgah. Tetapi tak lantas membuatnya jera. "Ya mau gimana lagi, kalo abis dari rumah singgah juga gak bisa cari duit lagi buat makan dan sekolah. Jadi ya tetap ngemis aja. Kalau ditangkap itu sudah biasa kok," imbuhnya.

Kerasnya kehidupan jalanan adalah santapan mereka sehari-har

Anak Sekecil Itu...
Desy Susilawati
Kampleng. Bagi bocah yang mengaku berusia 14 tahun itu, tampaknya Kata itu terdengar istimewa. Maka, dia pun memilih kampleng yang bermakna tampar dalam bahasa Jawa itu sebagai namanya. Dia sama sekali tak bisa mengingat nama pemberian orangtuanya. Pun. asal usulnya.
"Sejak orangtua saya menghilang lima tahun lalu, saya hidup di jalanan seorang diri. Sampai sekarang, saya tidak menemukan di mana orangtua saya. Kehidupan keras pun harus saya jalani. Agar bisa bertahan hidup, saya mengamen di sekitar Pejaten," ujar Kampleng.
Di jembatan lampu merah Pejaten, Jakarta, berteman gitar kayu kopong dan sebatang rokok yang diisapnya dalam-dalam, Kampleng menghabiskan sisa malam. Sesekali tubuh kurusnya bergidik saat embusan angin malam menusuk.
Ketika jam dinas usai, Kampleng lebih suka pulang. Jangan membayangkan dia bakal mendatangi tempat tinggal nyaman dan hangat. Rumah untuk Kampleng adalah kolong jembatan Pejaten bersama puluhan anak jalanan yang lain.
Di sanalah, mereka membangun tempat singgah yang terbuat dari bedeng yang beralaskan kardus dan ditutupi spanduk. Cahaya cukup dari pendar lampu petromaks. Nasib Agus (15 tahun) tak lebih baik. Seperti Kampleng, dia tak mengenal orang tuanya dan hidup dari jalanan. Mungkin, dia sedikit lebih beruntung ketimbang Kampleng karena dia tak harus mencari nama yang tepat untuk dirinya.
"Saya nggak pernah kenal namanya orang tua. Dari dulu, saya sudah ada di jalanan, mungkin dibuang. Dulu sih saya pernah tinggal di panti, dulu banget waktu kecil. Orang panti juga yang kasih sayanama," ujarnya. Muhammad Rendi boleh jadi bernasib lebih baik. Dia punya nama dari orang tuanya dan masih memiliki ibu. "Ayah saya sudah meninggal," ujarnya lirih.
Namun, kerasnya kehidupan jalanan juga santapannya sehari-hari. Saat ditemui, Rendi seda/ig terjaring razia anak jalanan dan gepeng di Kota Bogor. Untuk dia, urusan tertangkap petugas Satpol PP tak lagi baru.Kapok? Tidak, tentu saja. "Saya sudah di jalanan selama delapan tahun." ujarnya. Ini berarti nyaris separuh lebih dari usianya yang sekitar 14 tahun itu dihabiskan di jalanan.
Napasnya pun telah menyatu dengan segala bentuk kekerasan yang terbentang di jalanan. Mulai dari aksi ciduk petugas hingga bayangan kejahatan yang dilakukan sesama pelaku jalanan. . Untuk Hendra, hidup di jalanan seolah menjadi bagian dari hidupnya. Ia Berada di jalan sejak usia delapan tahun. Dia pun telah merasakan keganasan itu hingga kini, saat usianya 18 tahun.
Dia tak akan jengah bila menyaksikan pertumpahan darah bisa terjadi hanya gara-gara tersenggol. Kekerasan fisik juga dialami. Bedanya, ini tak terjadi antara temannya sesama anak jalanan. "Kebanyakan s/hdari preman." ucapnya.
Bagi Agus, anak jalanan paling beruntung sekalipun tetap sulit menghindari perlakuan buruk semacam itu. "Orang baik, orangjahat, semua ada di jalanan. Nggak sedikit anak kecil yang sehari-hari hidup di jalanan. Mereka tinggal tanpa perlindungan dan nggak juga bisa melindungi diri sendiri. Kata orang-orang, jalanan tempat kejahatan merajalela. Jadi, wajar kalau kejahatan apa saja bisa menimpa anak jalanan. Yang bikin saya heran, justru orang-orang hebohnya setelah ada berita di koran dan televisi," ujar Agus.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo miris. Kendati, untuk dia, masalah anak jalanan merupakan hal yang umum di kota besar, bukan berarti masalah semacam itu akan dibiarkan berlarut-larut. "Perlu penanganan serius dari sejumlah pihak terkait," katanya.
Fauzi mengakui, penanganan anak jalanan yang dilakukan oleh DKI masih belum optimal. "Namun, kami berusaha menyediakan rumah-rumah singgah untuk mereka," ujarnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kepala Dinas Sosial DKI, Budihardjo. Dia tidak menampik bahwa fasilitas penanganan anak jalanan sangat minim. "Kapasitas sarana pembinaan tidak sesuai dengan jumlah anjal (anak jalanan) yang ada," ujarnya.
Namun, ingatan seorang Kampleng yang sudah beberapa kali keluar masuk panti sosial di Kedoya, Jakarta Barat, tentang pembinaan di panti jauh dari menyenangkan. "Seperti hidup dalam neraka," katanya."Saya dan teman-teman yang ketangkap dimasukkan ke dalam sel. Kita juga dipukuli dan diinjak-injak oleh petugas panti. Bahkan, rambut kita saja dibotakin. Tenaga kita juga diperas di sana. Belum lagi jatah makan kita yang hanya makanan sisa. Pokoknya, saya nggak tahan hidup di sana karena merasa di neraka. Akhirnya, saya dan teman-teman melarikan diri, ya walau suka ketangkap juga. Ibaratnya, kita main kucing-kucingan."
Keprihatinan serupa turut disuarakan Seto Mulyadi, ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Dengan jumlah anak jalanan 50 ribu di DKI Jakarta. Seto menyarankan pemerintah agar membangun pusat pengembangan kreativitas anak jalanan. Jangan hanya ditangkap dan membuat anak-anak jalanan tersebut seolah berada di penjara. "Buat anak-anak itu lebih aman berada di pusat pelatihan, harus ada bimbingan manusiawi, rohani, dan psikologis, terutama psikologis dan dinamika anak jalanan harus didalami," ujarnya.
Jika anak-anak itu merasa terpaksa dibawa oleh pemerintah untuk dibina, kata Seto, tak heran jika mereka melarikan diri dari panti-panti atau tempat penampungan anak jalanan. "Ada gula, ada semut. Jalanan merupakan gula bagi mereka. Buat pusat pelatihan seperti gula," tegasnya.
Di samping itu, Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, fenomena kekerasan terhadap anak meningkat. Fenomena ini, tuturnya, merupakan konsekuensi dari melonjaknya angka anak jalanan yang ada di 12 kota besar Indonesia.
Pada akhir 2009 lalu, jelasnya, 12 lembaga perlindungan anak mitra kerja Komnas Perlindungan Anak merilis bahwa terdapat 168 ribu anak
jalanan yang ada di 12 kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Angka ini melonjak sekitar 73 ribu dibandingkan pada 2008 lalu yang mencatat setidaknya terdapat 95 ribu anak jalanan.
Umumnya, papar Arist, mereka pernah mengalami kekerasan. "Macam-macam kekerasan mulai dari seksual, seperti disodomi orang dewasa, diperkosa oleh teman mereka sendiri, pembunuhan, hingga pemukulan," ungkap Arist yang ditemui pada Jumat (15/1).
Selain itu, Arist menduga bahwa banyak anak yang menjadi korban perdagangan organ tubuh. Ia pun mencontohkan Bunga (bukan nama sebenarnya). Bocah berusia 12 tahun ini ditemukan di Tokyo, Jepang, dengan kondisi kehilangan ginjal dan lidah terpotong.
Prasetyo (21) berkonsentrasi. Tangannya sibuk membubuhi sepatu putih itu dengan cat acrylic biru. Di
tangannya, polos sepatu itu disulap menjadi biru dengan motif bunda membuai anaknya di bagian depan atas sepatu.
Aktivitas mi dilakukan Tyo, sapaannya, saban mendapatkan pesanan. Biasanya, satu bulan dua kali order. Sehari-hari, ia biasa menjadi juru parkir di jalan Bukit Duri, Jakarta Selatan. "Kalau senggang, saya nongkrong di yayasan," ungkap Tyo merujuk pada Yayasan Annur Muhiyam di Jl Bukit Duri Tanjakan Batu. Tebet, Jakarta.
Kendati sejak kelas 2 SMP sudah di jalanan. Tyo mengaku beruntung. Setidaknya, sejak enam tahun lalu, waktunya kia i sedikit di jalanan.
Ia ditemui saat Menteri Sosial Salim Segaf Kl Jufrie bersama Dirjen Yanrehsos Mkmur Sunusi mengunjungi Yayasar Himmata di Plumpang, Jakarta Utara, baru-baru ini. Mereka memberikan bantuan kepada kedua orang tua Ardiansyah (9 tahun) yang tewas akibat dimutilasi Babe (Bekuni).
Kementerian Sosial menganggarkan Rp 184 miliar untuk pelayanan kesejahteraan anak, termasuk untuk anak jalanan.
Tyo hanya bisa berharap pemerintah memperbaiki nasib anak jalanan. "Jangan lagi terjadi korban."
Kampleng agaknya menyimpan asa serupa. Dulu, Kampleng hidup sebatang kara. Kini, dia memiliki keluarga baru. Dalam perjalanan hidupnya. Kampleng bertemu dengan Jujung dan Abay, anak jalanan lainnya. Ketiganya menjalin persahabatan erat layaknya saudara sekandung.
"Sekarang ini, saya tidak hidup sendiri lagi. Ada Jujung, Abay. dan teman-teman lainnya di sekitar saya. Saya juga punya Bang Syahrul yang sudah saya anggap sebagai abang kandung saya. Di bawah kolong jembatan, kita semua hidup menyatu. Kurang lebih 20 orang tinggal di sini," ujar Kampleng.
Jalan hidupnya mungkin saja tak banyak berubah. Namun, mata Kampleng tampak lebih bersinar. Dia
merasa telah menemukan tempat berlabuh. Dia menemukan kehangatan di antara teman-temannya senasib.
Di sudut lain, di bawah naungan jalan tol Pondok Pinang, Agus tampak sibuk membenahi barang dagangannya berupa bergelas-gelas air kemasan. Hujan deras membuat dagangannya tak lekas laku.
Sambil kembali membenahi dagangannya, mata Agus tak lepas dari rombongan pengamen di seberang jalan tempatnya duduk.
"Kalau punya pilihan, tidak mungkin ada orang yang mau hidup di jalanan. Mbak. Sayangnya, saya bahkan tidak bisa membayangkan ada kehidupan lain selain di tempat ini," ujarnya.
Dia pun bergegas mengejar metromini di simpang lampu merah, kembali menjemput pembeli. Alunan lagu Iwan Fals yang dilantunkan para pengamen itu terdengar lirih, "Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu...." cOl/cO8/cO9/cl3/cl6 ed endah