Gantung Tas Sekolah demi Hidupi Keluarga

KEMISKINAN masih menjadi pemandangan sepanjang sejarah di negeri ini. Dalam negara yang salah urus tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan juga telah mengantarkan jutaan anak Indonesia tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas. Seperti yang dialami Hengki (16), salah seorang pengamen di kawasan Kalimalang. Dia harus merantau ke Jakarta di usia yang terbilang sangat belia.

Di usianya yang baru menginjak 10 tahun, Hengki merantau ke Jakarta bersama seorang saudaranya. “Saya niat merantau ke Jakarta untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Untuk bisa membantu orangtua di kampung," ujar Hengki saat berbincang dengan okezone, baru-baru ini.

Kemiskinan yang dialami keluarganya di Padang membuat sulung dari empat bersaudara ini harus rela menunda keinginannya bersekolah lebih tinggi lagi. Hengki rela menggantungkan tas sekolahnya untuk mengadu nasib di Jakarta. “Biarlah saya membantu orangtua mencari uang agar adik-adik tetap bersekolah,” tuturnya. Walaupun jumlah pendapatan yang dihasilkan dari mengamen di kawasan Kalimalang hanya Rp40.000 per hari, Hengki tetap menyisihkan sebagian penghasilannya untuk dikirimkan kepada orangtua di kampung.

Penghasilan yang minim tersebut didapatkan Hengki dengan mengamen dari pukul 11.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Pilihan berat ini dijalani karena tak ingin membebani orangtua. Hengki memutuskan tidak mau bergantung kepada siapa-siapa, termasuk untuk tinggal dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Dulu ketika masih melanjutkan sekolah, saya tinggal bersama saudara, tapi sejak lulus lebih banyak menghabiskan keseharian di jalan,” tutur Hengki.

Untuk urusan memejamkan mata pun dia lebih memilih berada di teras toko yang ketika malam hari sudah tutup. Keinginan untuk terus bersekolah pupus ketika kemiskinan menjerat keluarganya. Orangtua yang hanya seorang buruh tani dan tidak memiliki penghasilan tetap membuatnya pasrah menerima nasib. “Dulu ketika masih bersekolah di kampung, saya juga ikut bekerja di lahan pertanian tapi penghasilannya sedikit,” imbuh Hengki. Dengan pendapatan yang minim itu Hengki hanya bertahan bekerja selama dua bulan.

Lain halnya dengan kisah hidup si kecil Eki. Dengan usia yang baru menginjak 8 tahun, bocah ini harus membantu sang ibu menjadi pengemis di jalanan Ibu Kota. Aktivitas ini dijalani Eki sejak berusia dua tahun hingga kini.

Berbeda dengan nasib Hengki yang harus putus sekolah, Eki masih lebih beruntung dengan rutinitas mengemis dari pukul 13.00-21.00 WIB. Eki masih bisa bersekolah di pagi harinya. Siswa kelas 1 SD yang bersekolah di Jati Bening ini mengaku tidak pernah belajar setiap hari. “Kalau belajar cuma hari Minggu aja, karena kalau hari Minggu ngemisnya libur,” ujar Eki.

Faktor kebutuhan ekonomi kian tinggi dan penghasilan sang ayah yang hanya tukang cuci mobil, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Karenanya, ia dan ibunya harus rela mengemis demi meringankan beban ayahnya membayar uang sekolah. Ibu dan anak ini bisa menghasilkan Rp70 ribu sehari. Eki yang ingin terus sekolah hingga cita-citanya menjadi dokter ini berharap kehidupannya lebih baik suatu saat nanti. Membahagiakan kedua orangtua juga menjadi dambaannya selain mengejar cita-cita menjadi seorang dokter.

Perjalanan hidup Hengki dan Eki menjadi potret buram kehidupan anak Indonesia yang terpaksa berhenti sekolah dan turun ke jalanan karena kemiskinan. Mereka harus membantu orangtuanya mencari nafkah dengan untuk bertahan hidup. Akar persoalan anjal adalah kemiskinan sehingga penanganan dari masalah sosial ini harus berawal dari kemiskinan itu sendiri yang menyebabkan mereka turun ke jalan.

"Seandainya ada undang-undang yang melarang anak turun ke jalan itu malah bentuk kriminalisasi. Jadi pendekatan yang mesti dijalankan dalam menangani anak jalanan adalah mengatasi kemiskinan mereka," papar Kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulhin.

Menurut dia, hal terpenting terhadap penanganan anak jalanan adalah memikirkan pemenuhan jaminan kebutuhannya untuk membebaskan mereka dari kemiskinan sehingga tidak turun ke jalan. "Bisa dengan cara memberikan tempat tinggal, fasilitas belajar atau sarana usaha," kata Iqrak. Dia juga mengatakan, dalam konteks eksploitasi anak jalanan ini banyak modus. Pelakunya malah terkadang orangtuanya sendiri. Sebab itu, orangtua juga harus menjadi salah satu pusat perhatian, selain pihak-pihak lain yang mengorganisir mereka di jalanan.

“Program tabungan untuk anjal yang dilaksanakan oleh pemerintah bisa saja berjalan secara efektif  apabila dalam pelaksanaannya dana yang dianggarkan oleh pemerintah diberikan secara tepat sasaran,"  kata Sosiolog Univeritas Esa Unggul, Abdurrahman kepada okezone, baru-baru ini.

Dia menjelaskan, untuk mencarikan solusi terbaik untuk penanganan masalah anjal seharusnya pemerintah tidak hanya mengadakan program yang hanya mengucurkan dana begitu besar. Namun,  pemerintah sebaiknya memikirkan cara untuk memberikan tempat tinggal bagi anjal. Menurutnya, rumah yang dibangun untuk anjal tersebut sebaiknya digunakan untuk memberikan pendidikan agar mereka bisa dididik dengan ketrampilan. Dengan modal ketrampilan ini diharapkan mereka dapat mandiri dengan membuka usaha, sehingga pada akhirnya tidak kembali ke jalan.

“Pemerintah juga harus konsisten terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah jelas menyebutkan bahwa fakir, miskin dan anak jalanan dipelihara oleh negara,” tandas mantan Kepala Jurusan Jurnalistik Univeritas Esa Unggul itu.

Menurut dia, apabila amanat konstitusi tersebut bisa dilaksanakan dengan baik tidak mungkin jumlah anjal akan berkurang. "Pembangunan tempat tinggal untuk anak jalanan seharusnya bisa dibangun oleh pemerintah dan dikelolah
“Laskar Pelangi” karena tertarik kepengen nonton filmnya. Sebelumnya novel “Laskar Pelangi” sudah lebih dulu terkenal karena masuk jajaran novel “best seller”. Temen yang sudah lebih dulu baca mengingatkan, bacalah novel ini saat perasaan hati sedang senang. Ini mengindikasikan bahwa novel ini termasuk kategori bacaan berat. Tapi gw melanggar imbauan temen gw itu. Gw baca novel ini saat otak gw lagi “butek” karena kurang tidur. Dan ternyata, apa yang dibilang temen gw itu salah. Bagi gw novel ini “sangat renyah” dan sama sekali tidak berat.

Latar belakang kisah “Laskar Pelangi” yang menceritakan kehidupan di seputar sekolah kaum miskin yang reyot di Belitung terasa tidak terlalu aneh bagi gw. Sekolah seperti itu banyak bertebaran di daerah terpencil di Indonesia. Seperti: sekolah anak transmigran di Tulang Bawang Lampung (lihat: perjuangan anak transmigran).

Yang menarik adalah novel ini berisi cerita kehidupan masa kecil penulisnya (?) saat duduk di bangku SD, SMP hingga memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Bagi gw, daya tarik buku ini adalah pada daya juang anak-anak kaum miskin untuk meraih kehidupan di masa depan yang lebih baik melalui pendidikan.

Setelah membaca habis novel ini, bagian yang paling menarik justru terdapat pada Bab I: Sepuluh Murid Baru. Dalam bab ini diceritakan perjuangan Bu Mus Dan Pak Harfan bagaimana mendapatkan 10 murid SD kelas satu pada tahun ajaran baru agar sekolah Muhammadiyah di Belitong tetap dapat bertahan. Karena bila mendapat murid kurang dari 10, maka sekolah itu akan ditutup.

Setelah Bab ini, bab selanjutnya bagi gw seperti bernostalgia berkunjung ke Belitung. Tentang kondisi lokasi tambang timah dan kehidupan masyarakatnya. Tentang kesenjangan sosial antara karyawan PN Timah dan penduduk sekitar yang bak “langit dan bumi”. Tentang perjuangan 10 murid SD Muhammadiyah hingga terlepas dari kemiskinan. Dan tentang kesuksesan sang penulis mencapai cita-citanya dari anak buruh tambang yang miskin hingga mendapat bea siswa sekolah ke perguruan tinggi.

Rasanya tidak aneh kalau banyak yang suka dengan novel ini. Karena novel yang mengangkat kisah pahit getir kehidupan masyarakat bawah yang ditulis secara gamblang, tanpa “tedeng aling-aling” dan mengalir seperti air, sesuai apa pemikiran penulisnya.

Sehabis membaca novelnya, rasanya tidak sabar menantikan bagaimana jadinya bila kisahnya diangkat ke layar lebar. Melihat kembali setting Belitung belasan tahun silam. Dan keindahan edensor seperti yang diungkapkan penulisnya. Apakah kesan yang timbul bagi penonton tentang keindahan edensor sama dengan yang dikisahkan Andrea Hirata, sang penulis novel ini.

anak sekolahtransmigran
Perjuangan Anak Transmigran

Para remaja ini baru pulang. Setelah sejak siang berkutat dengan pelajaran di kelasnya. Mobil angkutan ini adalah satu dari dua mobil angkutan umum yang melayani murid sekolah ini. Sekilas para remaja belasan tahun ini tak berbeda dengan pelajar SMA lainnya, namun sekolah mereka berbeda dengan sekolah lainnya di kawasan ini, karena mereka bersekolah secara gratis.
Dua dari tiga remaja ini adalah Puspita dan Rukminah. Sejak delapan bulan yang lalu, keduanya bersekolah tanpa dipungut uang SPP dan uang bangunan, di sebuah Sekolah Menengah Atas di Tulang Bawang, Lampung.
Tugas-tugas rumah tangga yang sedang diselesaikan ini dikerjakan tanpa paksaan dari pemilik rumah. Mereka melakukannya sebagai balasan atas kebaikan pemilik rumah yang memperbolehkan mereka tinggal di rumah ini.
Mereka tinggal di rumah ini karena rumah mereka jauh dari sekolah. Ditambah kondisi jalur transportasi yang buruk, membuat jarak rumah mereka dengan sekolah ini sulit ditempuh. Idealnya, mereka tinggal di asrama. Namun karena keterbatasan dana, pihak yayasan pengelola sekolah menitipkan mereka kepada warga setempat, ataupun pondok-pondok pesantren.
Sebagai kompensasinya, murid-murid sekolah yang dititipkan ini, membantu meringankan pekerjaan pemilik rumah, baik di rumah, di kebun, maupun di toko.
Ini adalah Asnawi. Ia juga murid SMA gratis di Tulang Bawang, Lampung. Pagi hari sebelum masuk sekolah, pemuda berusia 17 tahun ini, membantu menyadap, dan merawat pohon karet di perkebunan milik bapak asuhnya. Ia merupakan anak ke-enam dari tujuh bersaudara yang bercita-cita menjadi polisi. Orangtua Asnawi merupakan peserta program transmigrasi pada era tahun 80-an.
Sekolah gratis ini didirikan atas gagasan sekelompok orang yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Peduli Transmigrasi Indonesia (HMPTI). Mereka prihatin, karena taraf hidup keluarga transmigran di tempat ini masih jauh dari harapan.
Sekolah gratis yang didirikan pada tingkat Sekolah Menengah Atas, karena banyak anak-anak yang putus sekolah pada tingkatan ini. Yang dapat bersekolah disini adalah mereka yang berasal keluarga transmigran tidak mampu, muridnya berjumlah 140 orang.
Meski telah berdiri sejak dua tahun lalu, sekolah ini belum memiliki gedung sendiri. Mereka meminjam gedung sebuah Sekolah Dasar Negeri di Desa Banjar Agung.
Walau tidak dipungut bayaran, menurut Muslihuddin, Kepala Sekolah SMA HMPTI, antusiasme murid untuk mereguk ilmu di sekolah ini sangat tinggi. Karena inilah satu-satunya pilihan yang mereka miliki untuk menggapai cita-cita.
Mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin undang-undang dasar. Namun tak dapat dipungkiri, belum semua warga negara dapat menikmati pendidikan yang layak. Keberadaan sekolah gratis anak-anak transmigran ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Karena siapa tahu, para pemimpin bangsa ini kelak, merupakan lulusan sekolah semacam ini. (Lengkapnya lihat: www.indosiar.com/news/horison)

Kisah Penjual Kayu

Pada suatu desa di tepi hutan, hidup seseorang yang hidupnya sebagai penjual kayu. Hidup yang dijalaninya penuh dengan keikhlasan, rasa bersukur yang tinggi dan rasa berserah tinggi terhadap Allah. Sehingga dalam keluarganya yang sederhana selalu dalam ketentraman dan kebahagiaan.

Pada suatu hari terjadi malapetaka di kota terdekat, yaitu terjadi banjir dan beberapa rumah penduduk kota yang roboh atau hilang. Mendengar ini si penjual kayu menjadi prihatin dan bersimpati untuk menyumbang kayu kepada korban banjir tersebut. Akhirnya dikumpulkan kayu2 hutan yang ada didekat rumahnya dan dikirim kepada korban banjir tersebut.

Ada juga seorang pengusaha kayu yang melihat ternyata si korban banjir yang membangun rumahnya dengan menggunakan kayu-kayu yang bagus mutunya. Dan pengusaha kayu mendatangi seorang korban banjir tersebut. “Kayu-kayu anda sangat bagus sekali, dari mana membelinya ? saya juga mau membeli kalau bapak mau menunjukkan penjualnya”.

Si korban banjir akhirnya menceritakan asal-usul kayu tersebut. Lalu keduanya membuat kesepakatan yang mereka buat.
Sang korban banjir akhirnya mendatangi si penjual kayu, dan menyatakan minta bantuan lagi kayu dengan alasan masih kurang untuk membangun rumahnya tersebut. Dan si penjual kayu juga memberikan sesuai kebutuhan si korban banjir.
Beberapa kali si korban banjir meminta kayu lagi, si penjual kayu juga agak heran, kenapa masih kurang terus. “Karena kayu-kayu kemarin juga diminta tetangga saya yang rumahnya juga rusak oleh banjir tempo hari” itu alasan dari si korban banjir.
Meskipun diliputi rasa penasaran, si penjual kayu tetap saja memberikan kayu sesuai permintaan si korban banjir, karena merasa kasihan kalau rumahnya belum selesai juga. Sementara itu si penjual kayu juga berusaha tahu apa yang terjadi dengan rumah si korban banjir tersebut.

Dan akhirnya si penjual kayu mengetahui bahwa ternyata kayu-kayu yang disumbangkan tersebut dijual kepada si pengusaha. Tetapi ternyata si penjual kayu tidak menjadi geram atau marah.

Pada hari berikutnya si korban banjir datang lagi ke si penjual kayu dan menyatakan masih butuh bantuan kayu lagi. Dengan alasan untuk menyelesaikan ruangan dapurnya. Dan si penjual kayu bersedia memberikan bantuan tetapi si penjual kayu membutuhkan tenaga untuk mengurus kayu-kayu yang diminta. Si korban banjir menjanjikan akan mengirim orang untuk membantu si penjual kayu.

Selanjutnya si penjual kayu mempersiapkan lahan-lahan disekitar rumahnya. Pada waktu tenaga-tenaga yang dikirim oleh si korban banjir datang, mereka disuruh untuk membersihkan lahan. Dan setelah selesai membersihkan lahan, si korban banjir menanyakan kapan kayunya akan diangkut. Sipenjual kayu menyuruh untuk datang lagi seminggu lagi.

Setelah seminggu sesuai yang dijanjikan oleh si penjual kayu, si korban banjir datang dengan membawa tenaga untuk mengangkut. Tetapi oleh si penjual kayu, orang-orang tersebut malah disuruh lebih dulu untuk menanam biji-biji kayu pada lahan yang sudah dipersiapkan seminggu sebelumnya. Setelah selesai pekerjaan tersebut, dengan tidak sabar si korban banjir menanyakan tentang kayu yang telah diminta sebelumnya.

“Mana kayu yang akan disumbangkan kepada kami, sementara saya juga sudah siapkan orang-orang untuk membantu mengangkut” tanya si korban banjir.
“Kayu-kayu sudah cukup saya kirim untuk membantu bapak sehingga hutan di sekitar menjadi habis, kalau memang mau kayu lagi ya bapak harap sabar untuk menunggu kayu yang baru saja kita tanam tadi” jawab si penjual kayu.

hidup sederhana, bukan miskin

sayang, aku tak bisa berjanji akan membuatmu hidup penuh dengan kegelimangan harta. Aku hanya menawarkan hidup sederhana, dengan segudang cita dan semangat yang kupunya. Semoga itu dapat membahagiakan kita, setidaknya anak-anak kita bisa belajar dari pilihan-pilihan hidup yang kita ambil”

Sesaat saya terdiam, merenungi kata yang kurangkai sendiri. Kata-kata ini memang belum menemukan pelabuhan yang resmi lagi, pelabuhan yang mengikat biduk cinta dan pengharapan. Tapi, aku masih menantikan ia hadir di akhir pendakian gunung besar saat ini.
Sejatinya, hidup ini adalah serangkaian pilihan. Itulah yang dulu tertanam dan sampai saat ini membuat saya dewasa. Bukan sebagai apologi atas segala pilihan yang dinilai salah oleh orang-orang. Menjadi Diri Sendiri adalah sesuatu yang terkadang bagi sebagian besar orang sulit, termasuk saya.
Sekian gunung mengajarkan saya untuk pandai-pandai memilih jalan. Ya, ini salah satu hikmah masuk PHIPETALA yang tidak tertulis kemarin. Selain itu, memilih jalan terkait juga dengan pengharapan. Antara ingin dan tidak ingin, juga antara tujuan dan proses pencapaian. Karena kebahagiaan bukan sekedar akhir dari tujuan, melainkan juga prosesnya. Ya, filosofi yang ini memang terkait filosofi telur-ayam. Tapi, begitulah. Kita harus memilih untuk memandang dari telur, atau dari ayam dulu. Kita mau memandang dari kali pertama yang mana, sehingga kita bisa mengatakan yang ini proses dan yang lainnya tujuan.
Belajar bersyukur dengan sekian nikmat yang Allah SWT berikan di kehidupan kita, semestinya membuat kita makin awas. Ya, namanya belajar mestilah ada nuansa jatuh-bangun. Kali ini saya ingin mengajak calon pendamping saya lebih memahami, bahwa hidup tak selamanya berjalan seperti yang terkira.
Peristiwa masa lalu, pun termasuk peristiwa yang saat ini (kuliah ke Belanda). Mengajak saya untuk lebih awas, terhadap segala HTAG (halangan, tantangan, ancaman dan gangguan) yang tidak pernah berhenti menggoda. Sejujurnya saya mudah tergoda, saya tahu dimana saya lemah, saya berusaha untuk tidak terkalahkan (lagi). Bismillah..
Lanjut, maka hidup sederhana yang dibangun bukan berarti menyengsarakan diri. Bedakan, hidup sederhana bukan berarti miskin. Semangatnya adalah semangat memenuhi kebutuhan diri, bukan keinginan. Kalaupun ada lebihnya itu hak orang lain.
Maka, kita coba sekarang. 18 juta rupiah ini sebagai awal perjalanan hidup kita membangun mimpi. Meski dengan begitu artinya, saya harus ekstra keras dan cerdas untuk bisa bertahan hidup di negeri ini dan untuk membeli tiket pulang ke mimpi kita. Sekali lagi, bismillah.. Allah Maha Tahu, kita bisa.

mimpi adalah kisah hidupku

Kala itu, berbilang bulan bulan yang telah lalu
Hari yang kelam membungkus tubuhku ini
Yang lesu terlentang lemah tak berdaya
Dipenuhi doa dan harapan harapan diangan

Berangkatlah sang sukma menuju peraduan
Alam mimpipun segera datang menjemput
Kulihat diriku sedang melakukan perjalanan
Bersamaku beberapa teman-teman ikut didalamnya

Berjalan…kami berjalan seakan mengarungi lautan harapan
Wajah-wajah kamipun dipenuhi semangat
Meraih mimpi yang yang selalu mengusik hari hari
Tak sedikit keluhan dan desahan keluar dari mulut-mulut yang selalu membisu itu

Hingga tibalah kami memasuki gedung yang tinggi
Didalamnya terdapat tangga yang menghubungkan ke tiap tingkat
Kamipun menyusurinya untuk naik ketingkat selanjutnya
Berat sekali karena ternyata pada tangganya mengalir air yang deras

Terus-terus kami menaiki tangga itu
Satu demi satu diantara kami berguguran
Atau mungkin mereka berhenti ditiap tingkat yang ada
Karena yang kutahu jumlah kami makin sedikit

Dan akhirnya perjalanan itu menyisakan 3 orang
Pada puncak disebuah ruangan yang berjendela
Kulihat 1 orang berdiri didekat jendela
Ternyata orang itu terjatuh keluar, dan kulihat dibawah sana api menyala nyala seakan menyambutnya

Aku pun mundur surut beberapa langkah
Kulihat seorang kawan tak berani memasuki ruangan
Ia duduk berpegangan erat pada ujung tangga
Terlihatlah rasa pasrah diwajahnya

Diam-diam ketekuk lututku untuk bersyujud
Kusebut namanNya berulang kali
Segenap kepasrahanpun keluar dari jiwa ini
Entah berapa lama jiwa ini meratap dan bersyujud

Tiba tiba dihadapanku terpampang film kehidupan
Seakan sebuah tabir yang memberitakan kehidupanku
Satu persatupun babak dipertunjukan
Semua tampak seperti nyata dan jelas

Berbagai kesuksesan dan berbagai keindahan
Terpampang sangat jelas dan cepatnya
Hingga akhirnya seorang wanita hadir tersenyum
Ianya penuh jenaka dan coba menghiburku
Tanpa sabar akupun segera berucap
Ya Allah bukankah aku telah memilih si fulan
Dan akupun telah memintakan padaMu agar menjadi pendampingku
Aku juga telah menitipkanya padaMu melalui tiap pujian dan doa doa

Telah kuserahkan ia pada bimbinganMu
Agar ia siap mendampingiku kelak
Dalam menuntaskan cita dan harapan yang kupinta padaMu
Yang bukan lain adalah harapan umatMu jua

Mulutkupun tak henti henti melakukan penolakan
Aku bersikeras mempertahan  perasaanku padanya
Hanya dia dan hanya dia … Ya Allah
Akhirnya rasa gusarku membangunkanku

Aku diam termangu memikirkan apa yang telah terjadi
Rasa kantuku datang lagi hingga memuatku tertidur lagi
Segera mimpi itupun datang menghampiri
Sosok wanita itu dengan sabar menerangkan padaku

Dan katanya…..

Aku ada dan tercipta semata untuk menemanimu
Akulah yang akan menggenapkan tiap langkahmu
Kita wujudkan semua impian muliamu didunia ini
Dan yakinlah bersamaku semua itu kan terjadi

Lagi lagi aku memberontak dan kukatakan
Aku telah memilih si fulan  jadi pendampingku
Hanya dia…hanya dia ya Allah
Pemberontakanku membangunkanku kembali

Aku kembali diam termangu memikirkan semua itu
Tapi rasa kantuku yang berat membawaku tertidur kembali
Seperti sebelumnya mimpi itupun datang lagi
Kali ini aku diberikan pilihan dengan konsekuensinya

Pertama aku dipertemukan dengan si fulan pilihanku
Aku bersamanya dalam singgasana yang indah
Kulihat sekelilingku dipenuhi bangunan yang megah
Aku bahagia sekali didalamnya

Tapi kemudian adegan film lainya segera terbentang
Kali ini aku bersama sosok yang misterius itu
Dan sekarang aku tak bisa berkata kata lagi
Karena dunia nampak terang benderang
  
Segala sesuatunya mengeluarkan cahaya keperakan
Seakan dunia ikut hanyut didalam kebahagiaanku
Layar itupun segera menghilang
Sosok wanita itupun datang kembali

Dia terus mencoba meyakinkanku siapa ia
Sebelum hilang ia tinggalkan kata kata

Aku ada dibelakang masjid
Kutanyakan apakah kamu dekat dengan ustadt….
Jawabnya iya, dan akupun erat sekali hubunganya
Kebingungan dan keresahan membangunkanku terakhir kalinya

………………………………………………….
Kini, hari ini di tahun 2006 akupun masih bertanya
Benarkah semua itu, adakah wanita yang sadar akan penciptaanya
Sadar akan tugasnya didunia dan tahu persis siapa pendampingnya
Sebegitu dekatkah ia hubunganya dengan rabNya….

Tapi kalau itu tidak benar, kenapa sebagian kisahnya telah menjadi nyata !!!


Terima kasih Tuhan atas keadilan terhadap semua makhlukMu
Hingga ijinkan aku untuk sedikit tahu tabir keberadaanku
Dan Engkau ijinkan pula  aku untuk bercakap denganMu
Walau semua itu terjadi dalam sebuah tabir dalam tabir mimpi

kisah seorang pengamen kecil

11111111111111111111111Kulihat seorang anak kecil yang membawa sebuah gitar kecil dengan baju kusut, muka kusam, kaki hitam dan senyum yang keluar dengan memendam kelaparan diperut yang kecil itu. Hati ini menangis, hati ini bersedih dan hati ini sangat ingin memeluk dikau yang menggetarkan hati ini. Aku hanya bisa duduk dan memandangmu dibangku hitam dengan duduk bersanding orang banyak. Aku ciptakan sebuah puisi untukmu, untuk membantu semangatmu dan doamu kepada Ilahi Robbi.
Ketika aku senang, mereka merengek kelaparan,
ketika aku sedang asik makan, mereka lapar, mereka haus
ketika sang pagi datang dengan kesejukannya, mereka berlomba berlari untuk mendapatkan sebiji nasi,
wajahmu yang kusam, yang selalu kau tutupi dengan senyum indahmu dengan semangatmu,
aku menangis dalam hati ini…
kau yang selalu melantunkan nada-nada indah dan menghibur jutaan orang yang hendak pergi,
apa balasan mereka????? tangan yang mengatakan tidak, mereka yang pura-pura tidur…
kau yang selalu mengatakan “ikhlas bagimu, halal bagiku”
terenyuh hati ini, saat kau mengucapkan hal itu, hanya kehalalan yang kau cari….
tapi kehalalan itu rusak, hanya saja sedikit temanmu yang menyelewngkannya
sungguh malang nasibmu
pekerjaanmu mereka anggap hal yang hina…tapi tidak bagiku, kau mulia, kau pahlawan kecilku….
kau berkelahi dengan panasnya matahari, dengan debu dan asap kendaraan yang mematikan itu….
tetap semangat sahabatku…semoga kelak kau wujudkan cita-citamu….