Anak Sekecil Itu...
Desy Susilawati
Kampleng. Bagi bocah yang mengaku berusia 14 tahun itu, tampaknya Kata  itu terdengar istimewa. Maka, dia pun memilih kampleng yang bermakna  tampar dalam bahasa Jawa itu sebagai namanya. Dia sama sekali tak bisa  mengingat nama pemberian orangtuanya. Pun. asal usulnya.
"Sejak orangtua saya menghilang lima tahun lalu, saya hidup di  jalanan seorang diri. Sampai sekarang, saya tidak menemukan di mana  orangtua saya. Kehidupan keras pun harus saya jalani. Agar bisa bertahan  hidup, saya mengamen di sekitar Pejaten," ujar Kampleng.
Di jembatan lampu merah Pejaten, Jakarta, berteman gitar kayu kopong  dan sebatang rokok yang diisapnya dalam-dalam, Kampleng menghabiskan  sisa malam. Sesekali tubuh kurusnya bergidik saat embusan angin malam  menusuk.
Ketika jam dinas usai, Kampleng lebih suka pulang. Jangan membayangkan  dia bakal mendatangi tempat tinggal nyaman dan hangat. Rumah untuk  Kampleng adalah kolong jembatan Pejaten bersama puluhan anak jalanan  yang lain.
Di sanalah, mereka membangun tempat singgah yang terbuat dari bedeng  yang beralaskan kardus dan ditutupi spanduk. Cahaya cukup dari pendar  lampu petromaks. Nasib Agus (15 tahun) tak lebih baik. Seperti Kampleng,  dia tak mengenal orang tuanya dan hidup dari jalanan. Mungkin, dia  sedikit lebih beruntung ketimbang Kampleng karena dia tak harus mencari  nama yang tepat untuk dirinya.
"Saya nggak pernah kenal namanya orang tua. Dari dulu, saya sudah ada  di jalanan, mungkin dibuang. Dulu sih saya pernah tinggal di panti,  dulu banget waktu kecil. Orang panti juga yang kasih sayanama," ujarnya.  Muhammad Rendi boleh jadi bernasib lebih baik. Dia punya nama dari  orang tuanya dan masih memiliki ibu. "Ayah saya sudah meninggal,"  ujarnya lirih.
Namun, kerasnya kehidupan jalanan juga santapannya sehari-hari. Saat  ditemui, Rendi seda/ig terjaring razia anak jalanan dan gepeng di Kota  Bogor. Untuk dia, urusan tertangkap petugas Satpol PP tak lagi  baru.Kapok? Tidak, tentu saja. "Saya sudah di jalanan selama delapan  tahun." ujarnya. Ini berarti nyaris separuh lebih dari usianya yang  sekitar 14 tahun itu dihabiskan di jalanan.
Napasnya pun telah menyatu dengan segala bentuk kekerasan yang  terbentang di jalanan. Mulai dari aksi ciduk petugas hingga bayangan  kejahatan yang dilakukan sesama pelaku jalanan. . Untuk Hendra, hidup di  jalanan seolah menjadi bagian dari hidupnya. Ia Berada di jalan sejak  usia delapan tahun. Dia pun telah merasakan keganasan itu hingga kini,  saat usianya 18 tahun.
Dia tak akan jengah bila menyaksikan pertumpahan darah bisa terjadi  hanya gara-gara tersenggol. Kekerasan fisik juga dialami. Bedanya, ini  tak terjadi antara temannya sesama anak jalanan. "Kebanyakan s/hdari  preman." ucapnya.
Bagi Agus, anak jalanan paling beruntung sekalipun tetap sulit  menghindari perlakuan buruk semacam itu. "Orang baik, orangjahat, semua  ada di jalanan. Nggak sedikit anak kecil yang sehari-hari hidup di  jalanan. Mereka tinggal tanpa perlindungan dan nggak juga bisa  melindungi diri sendiri. Kata orang-orang, jalanan tempat kejahatan  merajalela. Jadi, wajar kalau kejahatan apa saja bisa menimpa anak  jalanan. Yang bikin saya heran, justru orang-orang hebohnya setelah ada  berita di koran dan televisi," ujar Agus.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo miris. Kendati, untuk dia, masalah  anak jalanan merupakan hal yang umum di kota besar, bukan berarti  masalah semacam itu akan dibiarkan berlarut-larut. "Perlu penanganan  serius dari sejumlah pihak terkait," katanya.
Fauzi mengakui, penanganan anak jalanan yang dilakukan oleh DKI masih  belum optimal. "Namun, kami berusaha menyediakan rumah-rumah singgah  untuk mereka," ujarnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kepala Dinas  Sosial DKI, Budihardjo. Dia tidak menampik bahwa fasilitas penanganan  anak jalanan sangat minim. "Kapasitas sarana pembinaan tidak sesuai  dengan jumlah anjal (anak jalanan) yang ada," ujarnya.
Namun, ingatan seorang Kampleng yang sudah beberapa kali keluar masuk  panti sosial di Kedoya, Jakarta Barat, tentang pembinaan di panti jauh  dari menyenangkan. "Seperti hidup dalam neraka," katanya."Saya dan  teman-teman yang ketangkap dimasukkan ke dalam sel. Kita juga dipukuli  dan diinjak-injak oleh petugas panti. Bahkan, rambut kita saja  dibotakin. Tenaga kita juga diperas di sana. Belum lagi jatah makan kita  yang hanya makanan sisa. Pokoknya, saya nggak tahan hidup di sana  karena merasa di neraka. Akhirnya, saya dan teman-teman melarikan diri,  ya walau suka ketangkap juga. Ibaratnya, kita main kucing-kucingan."
Keprihatinan serupa turut disuarakan Seto Mulyadi, ketua Komisi  Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Dengan jumlah anak jalanan 50  ribu di DKI Jakarta. Seto menyarankan pemerintah agar membangun pusat  pengembangan kreativitas anak jalanan. Jangan hanya ditangkap dan  membuat anak-anak jalanan tersebut seolah berada di penjara. "Buat  anak-anak itu lebih aman berada di pusat pelatihan, harus ada bimbingan  manusiawi, rohani, dan psikologis, terutama psikologis dan dinamika anak  jalanan harus didalami," ujarnya.
Jika anak-anak itu merasa terpaksa dibawa oleh pemerintah untuk  dibina, kata Seto, tak heran jika mereka melarikan diri dari panti-panti  atau tempat penampungan anak jalanan. "Ada gula, ada semut. Jalanan  merupakan gula bagi mereka. Buat pusat pelatihan seperti gula,"  tegasnya.
Di samping itu, Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak, Arist  Merdeka Sirait, mengatakan, fenomena kekerasan terhadap anak meningkat.  Fenomena ini, tuturnya, merupakan konsekuensi dari melonjaknya angka  anak jalanan yang ada di 12 kota besar Indonesia.
Pada akhir 2009 lalu, jelasnya, 12 lembaga perlindungan anak mitra  kerja Komnas Perlindungan Anak merilis bahwa terdapat 168 ribu anak
jalanan yang ada di 12 kota besar Indonesia, seperti Jakarta,  Bandung, Medan, dan Surabaya. Angka ini melonjak sekitar 73 ribu  dibandingkan pada 2008 lalu yang mencatat setidaknya terdapat 95 ribu  anak jalanan.
Umumnya, papar Arist, mereka pernah mengalami kekerasan. "Macam-macam  kekerasan mulai dari seksual, seperti disodomi orang dewasa, diperkosa  oleh teman mereka sendiri, pembunuhan, hingga pemukulan," ungkap Arist  yang ditemui pada Jumat (15/1).
Selain itu, Arist menduga bahwa banyak anak yang menjadi korban  perdagangan organ tubuh. Ia pun mencontohkan Bunga (bukan nama  sebenarnya). Bocah berusia 12 tahun ini ditemukan di Tokyo, Jepang,  dengan kondisi kehilangan ginjal dan lidah terpotong.
Prasetyo (21) berkonsentrasi. Tangannya sibuk membubuhi sepatu putih itu dengan cat acrylic biru. Di
tangannya, polos sepatu itu disulap menjadi biru dengan motif bunda membuai anaknya di bagian depan atas sepatu.
Aktivitas mi dilakukan Tyo, sapaannya, saban mendapatkan pesanan.  Biasanya, satu bulan dua kali order. Sehari-hari, ia biasa menjadi juru  parkir di jalan Bukit Duri, Jakarta Selatan. "Kalau senggang, saya  nongkrong di yayasan," ungkap Tyo merujuk pada Yayasan Annur Muhiyam di  Jl Bukit Duri Tanjakan Batu. Tebet, Jakarta.
Kendati sejak kelas 2 SMP sudah di jalanan. Tyo mengaku beruntung.  Setidaknya, sejak enam tahun lalu, waktunya kia i sedikit di jalanan.
Ia ditemui saat Menteri Sosial Salim Segaf Kl Jufrie bersama Dirjen  Yanrehsos Mkmur Sunusi mengunjungi Yayasar Himmata di Plumpang, Jakarta  Utara, baru-baru ini. Mereka memberikan bantuan kepada kedua orang tua  Ardiansyah (9 tahun) yang tewas akibat dimutilasi Babe (Bekuni).
Kementerian Sosial menganggarkan Rp 184 miliar untuk pelayanan kesejahteraan anak, termasuk untuk anak jalanan.
Tyo hanya bisa berharap pemerintah memperbaiki nasib anak jalanan. "Jangan lagi terjadi korban."
Kampleng agaknya menyimpan asa serupa. Dulu, Kampleng hidup sebatang  kara. Kini, dia memiliki keluarga baru. Dalam perjalanan hidupnya.  Kampleng bertemu dengan Jujung dan Abay, anak jalanan lainnya. Ketiganya  menjalin persahabatan erat layaknya saudara sekandung.
"Sekarang ini, saya tidak hidup sendiri lagi. Ada Jujung, Abay. dan  teman-teman lainnya di sekitar saya. Saya juga punya Bang Syahrul yang  sudah saya anggap sebagai abang kandung saya. Di bawah kolong jembatan,  kita semua hidup menyatu. Kurang lebih 20 orang tinggal di sini," ujar  Kampleng.
Jalan hidupnya mungkin saja tak banyak berubah. Namun, mata Kampleng tampak lebih bersinar. Dia
merasa telah menemukan tempat berlabuh. Dia menemukan kehangatan di antara teman-temannya senasib.
Di sudut lain, di bawah naungan jalan tol Pondok Pinang, Agus tampak  sibuk membenahi barang dagangannya berupa bergelas-gelas air kemasan.  Hujan deras membuat dagangannya tak lekas laku.
Sambil kembali membenahi dagangannya, mata Agus tak lepas dari rombongan pengamen di seberang jalan tempatnya duduk.
"Kalau punya pilihan, tidak mungkin ada orang yang mau hidup di  jalanan. Mbak. Sayangnya, saya bahkan tidak bisa membayangkan ada  kehidupan lain selain di tempat ini," ujarnya.
Dia pun bergegas mengejar metromini di simpang lampu merah, kembali  menjemput pembeli. Alunan lagu Iwan Fals yang dilantunkan para pengamen  itu terdengar lirih, "Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu...."  cOl/cO8/cO9/cl3/cl6 ed endah
 
0 komentar: