Desa kami tadinya pernah tenteram sejahtera. Penjual bumbu yang membuatnya begitu. Penjual bumbu datang entah darimana. Suatu hari, menggendong bakul rotan besar yang membuatnya seperti mobil mesin penggiling semen di kota besar, Penjual Bumbu menuruni lereng bukit mendatangi pasar kami di lembah ini. Mengambil suatu sudut pasar, entah bagaimana tidak ada penjual lain di pasar bahkan centeng pasar yang menggugat kedatangannya. Ada sesuatu darinya yang membawa rasa hening di hati yang memandangnya.
Mengawali kegiatannya setiap siang di pasar, Penjual Bumbu akan bersimpuh seperti pesinden di tempatnya, meletakkan bakul rotan di sisinya, melipat selendang batik warna merah jambu yang dipakai mengikat bakul untuk dijunjung di punggung. Ia lalu mengatur letak empat tampah rotan yang tadinya disunggi di atas kepalanya, rapi membentuk setengah lingkaran di hadapannya. Penjual Bumbu lalu mengeluarkan batok kelapa-batok kelapa kering dari bakul rotannya.
Batok kelapa kering ini dipakai Penjual Bumbu sebagai mangkuk bumbu adonannya. Tiap kali, Penjual Bumbu akan meletakkan mangkuk batok berurut mulai dari tampah di sisi kanannya. Pemandangan ini saja sudah membius, bagaimana setiap batok bisa diletakkan di tampah rotan tanpa terguling. Dijejerkan melingkar, setelah sesak memenuhi tepi tampah, mangkuk batok berikutnya diletakkan di lingkar lebih dalam. Sampai penuh memusat di tengah tampah. Baru ia akan mengisi tampah kedua. Sampai tampah terakhir penuh terisi, semua mangkuk masih tertutup daun pisang. Baru kemudian Penjual Bumbu akan membuka daun pisang – dengan gerakan anggun perlahan dan raut wajah khidmat – selalu dimulai dari batok kelapa yang pertama diletakkannya. Setiap lembar daun pisang ditumpuk rapi di tangan kiri, lalu dimasukkan kembali ke bakul.
Pada setiap mangkuk batok kelapa – ini yang selalu membuatku terpesona – tampak beraneka warna dan tekstur adonan bumbu ulek, cair dengan kekentalan yang beragam. Warna-warna yang indah. Merah tidak hanya merah. Ada batok kelapa kering dengan isi merah darah, merah tomat, merah jambu air. Hijau tidak melulu hijau. Ada hijau rumput gajah, hijau selada air, hijau gelap lumut. Ungu, hitam, coklat, jingga, setiapnya dengan berbagai nuansa. Aku sudah mati-matian mencari warna kembar di ketiga tampah itu, bahkan karena penasaran kutantang teman-teman untuk bantu temukan. Tapi kami belum berhasil. Tidak ada satu mangkuk pun yang berisi bumbu dengan warna yang sama.
Yang luar biasa juga, tiap kali daun pisang terkuak dari permukaan satu batok, akan tercium aroma yang begitu menggoda. Bumbu warna merah tomat, misalnya, menguarkan harum rendang masakan warung padang. Bumbu hijau selada air, menebarkan wangi tumis kangkung restoran cina. Adonan bumbu coklat kayu jati, mengudarakan aroma menggairahkan sate madura. Kami akan mengeluarkan bunyi-bunyian kekaguman tiap kali Penjual Bumbu mengangkat daun pisangnya. Aah, Hhmm, Wow, Waah, seketika tercetus tiap kali aroma bumbu terbebaskan dari kekapan daun pisang. Bergantian kami akan melenguh. Kadang, bisa bersamaan seperti paduan suara.
Sebaliknya, Penjual Bumbu senantiasa hemat berkata-kata. Duduk bersimpuh beralas tikar lipat, gayanya lebih bak ratu daripada penjual bumbu. Saat semua batok sudah terbuka dan aroma lezat merembang, menyihir kami yang jongkok mengitarinya tanpa pedulikan sengatan matahari siang, baru ia menjawab pertanyaan kami. Itupun seadanya: Ini bumbu gulai kambing. (Bahannya?) Ya biasa, bahannya ini, itu, anu. (Oh. Yang itu?) Itu untuk rawon. Ya bahannya juga biasa, anu, itu, ini. (Cara masaknyanya?) Ya biasa, tinggal ditumis dulu, baru dicampur dengan bahan lainnya. (Lalu?) Ya tinggal campur dengan daging atau bahan lainnya. (Lalu?) Ya bumbunya ini yang akan bikin istimewa. (Kok bisa?) Coba cium saja baunya.
Mulanya hanya beberapa saja ibu kami yang mendatanginya. Jadwal belanja di pasar memang lazimnya pagi hari. Tapi sejak hari pertama kedatangannya di pasar desa kami, Penjual Bumbu sudah menarik perhatian. Kini, siang belum lama terjelang, adonan bumbu ulek Penjual Bumbu pasti sudah ludas terbeli. Pembeli tinggal sebutkan masakan apa yang akan dibuatnya, ia akan cidukkan bumbu tertentu dengan sendok kayu, tuangkan pada daun pisang di atas kertas koran, membungkusnya mengerucut dan menyemat atasnya dengan potongan lidi. Yang pasti, apapun yang diminta, Penjual Bumbu selalu sedia bumbunya.
Penampilan Penjual Bumbu hampir sama seperti perempuan penjual sayur, buah, daging, ikan, atau bahkan penjual bumbu ulek siap masak lainnya. Berkebaya-berkain, keduanya dengan warna yang sudah memudar. Rambut beruban digelung. Sedikit gemuk khas tubuh perempuan hampir setengah baya. Sedikit pendek khas generasi terdahulu yang kurang gizi. Sangat biasa saja. Tapi ada sesuatu pada raut wajahnya, sorot matanya, cara bicaranya yang tenang teratur, yang mengundang perhatian – bahkan rasa penasaran – orang yang melihatnya.
Susuk, kata ibu dari salah satu kami. Yang mendengar biasanya diam saja. Tapi sebenarnya mana ada yang percaya, karena ibu itu memasok bakso ke salah satu penjual di pasar. Pastinya cuma iri saja. Ibu-ibu kami lebih percaya bahwa ini semua karena Penjual Bumbu punya aura wibawa.
Tapi, lebih dari wibawa, semua sangat percaya bahwa bumbu-bumbu ulek adonan Penjual Bumbulah sumber segala pikatannya. Aromanya, warnanya yang sedapkan mata. Kebanyakan malah lupa membicarakan rasa dari bumbu itu sendiri, dan pengaruhnya pada rasa masakan yang dibuat ibu-ibu kami itu. Kalaupun ada yang merasa masakannya tidak lebih enak dibanding sebelum memakai bumbu yang dibeli dari Penjual Bumbu, ibu-ibu kami itu justru akan menyalahkan diri mereka sendiri. Ah, itu karena aku menumisnya terlalu lama hingga rasanya sangit. Mana bisa adonan bumbu seharum itu, dengan warna semenarik itu, bikin gulaiku malah pahit begini?? Aku saja yang ceroboh. Begitu contohnya kata mereka.
Dinamika pasar lalu berubah. Ibu-ibu lebih memilih belanja di siang hari, saat Penjual Bumbu sudah datang. Bahkan, para ibu kami bersedia meninggalkan tayangan sinetron, gosip artis, dan berita kriminal yang disiarkan stasiun tivi di siang hari. Para ibu memilih berkumpul di pasar. Tetangga yang jarang bertemu jadi ketemu, tetangga yang suka bertengkar jadi silaturahmi.
Hidup kami, anak-anak, juga berubah. Kami lebih suka memperhatikan Penjual Bumbu dari pada Penyewa Mainan Elektronik, penggoda nomor wahid bagi anak-anak desa kami. Kami tidak lagi mencuri uang belanja ibu atau menggunakan uang jajan yang sedianya untuk pengganti sarapan atau makan siang saat sekolah, untuk menyewa mainan elektronik selama beberapa menit. Kabel-kabel yang biasanya tersulur hubungkan tangan-tangan mungil kami yang cekatan mengarahkan permainan dengan perangkat game yang berjejer dihamparkan di atas kardus bekas, kini terkulai layu. Apalagi Tukang Es Goyang, Penjual Mie-instan-dalam-gelas-plastik, Tukang Cireng, Abang Gorengan, Penjual Mainan, Tukang Ikan Hias – mereka lebih tidak ada artinya lagi.
Sepulang sekolah, kami tidak lagi berkeliaran tanpa tujuan dan bermain tanpa kenal waktu. Pekerjaan sekolah kami kerjakan secermat dan secepat mungkin, agar kami bisa segera pulang tepat waktu. Bel berbunyi, bergerombol kami melangkah dalam diam – di kepala kami satu tujuan: segera ke pasar, menunggu Penjual Bumbu datang.
Mungkin frustrasi karena telah mencoba segala cara untuk memasaknya tapi tak kunjung menghasilkan rasa masakan yang berbeda, belakangan ibu-ibu kami malah lebih suka menyajikan adonan bumbu dari Penjual Bumbu begitu saja di meja makan sederhana kami. Ibu tidak memasak lauk sama sekali – nasi kami kunyah sambil menghirupi aroma bumbu Penjual Bumbu yang luar biasa. Ajaib! Lidah kami jadi menari menikmati rasa yang seolah jadi luar biasa. Bahkan, ibu lalu sering tidak masak sama sekali. Begitu nikmatnya aroma bumbu si Penjual Bumbu, menghirupnya saja sudah membuat kami kenyang. Meski tubuh kami makin lama makin kurus, perut makin cekung, pipi makin kempot, kami tidak kelaparan. Kami tetap nyenyak tidur di malam hari dan riang menjalani kegiatan kami di siang hari.
Dan begitulah desa kami menjadi tenteram sejahtera. Ibu-ibu tidak lagi bergunjing tentang perceraian artis. Berdamai dengan berapapun uang belanja yang diterima. Anak-anak tidak liar cari hiburan di luar gedung sekolah yang menyesakkan dan rumah yang serba kekurangan. Kami kian santun, dan memilih bergelung di rumah di atas dipan papan, bermimpi indah sejak terpuaskan oleh aroma bumbu
Sampai, kehidupan yang tenteram lalu terusik oleh para ayah desa ini.
Sepulang dari kerja keras mereka di pabrik, sawah, ladang, atau kebun, rupanya penciuman mereka sudah begitu majal karena asap pabrik, bau pupuk, bau kerontang kemarau, dan mungkin bau keringat mereka sendiri. Atau mungkin, hidung mereka terbiasa hanya mengenali segala hal yang busuk, yang buruk. Tidak mampu mereka menikmati aroma bumbu si Penjual Bumbu yang dihidangkan ibu, yang kaya cita rasa itu. Saat ditanya tentang ketiadaan pangan di rumah dan tubuh kami yang semakin tipis, ibu tidak bisa menjawab apa-apa, dan hanya memandang balik dengan air mata berlinang-linang karena kena marah. Para ayah makin tidak mau mengerti. Berkali-kali mereka bilang hal ini tidak masuk akal, tapi bagi kami merekalah yang sebenarnya waton, asal saja tidak mau menerima kenyataan yang ada.
Pada suatu malam yang gerimis, para ayah ini berkumpul di balai desa. Apa lagi, kalau bukan merencanakan bagaimana caranya agar Penjual Bumbu tidak lagi berjualan di desa kami.
Siangnya, alih-alih pergi bekerja, para ayah berduyun-duyun mendatangi pasar. Kedatangan mereka hampir bersamaan dengan kami anak-anak yang pulang sekolah, dan ibu-ibu kami yang meninggalkan tayangan gosip artisnya. Beberapa ayah awalnya berusaha bicara baik-baik pada Penjual Bumbu, memintanya tidak lagi berjualan di pasar desa kami. Permintaan ini ditanggapi dalam diam oleh Penjual Bumbu, pandangannya seperti bertanya apa salahnya. Kami yang justru jadi ribut. Ayah tega! Ayah ingin kami main pleistesyen sewaan saja?? Ibu-ibu kami juga. Pakne kok tega? Mbakyu Penjual Bumbu kan sama-sama cari makan seperti kita. Lagipula, tanpa bumbu Mbakyu Penjual Bumbu, aku nggak pede masak lagi! Pakne mau, kita semua kelaparan??
Dan entah bagaimana, akhirnya emosi kian meninggi. Para ayah ada yang tidak sabaran, dengan amarah menendangi tampah-tampah pengalas mangkok batok kelapa kering wadah bumbu aneka warna. Bumbu meruah, menyatu dengan tanah basah karena hujan tadi pagi. Tambah mengotori kaki dan sandal jepit kami yang memang tidak pernah benar-benar bersih. Aroma lezat mengeruyak, bercampur dengan tengik keringat kami, masam bau nafas mulut kami karena perut yang lama kosong.
Kami tidak terlalu ingat tepatnya apa yang lalu terjadi. Beberapa dari kami mengingat akhirnya seperti ini: Tampah dan banyak batok kelapa bergelimpangan. Penjual Bumbu meneteskan air mata tapi herannya tidak terdengar isaknya. Tak bersuara, tak menjawab panggilan para ibu dan kami anak-anak yang memohon ia tinggal. Penjual Bumbu beranjak pergi, melangkah ke arah bukit, memeluk bakul rotan yang hanya terisi lembaran daun pisang.
Aku juga tidak ingat apa yang terjadi. Tapi sampai aku dewasa begini, tiap kali kukunjungi ibu di desa, ibu masih mengeluhkan betapa ibu rindu akan aroma bumbu aneka warna si Penjual Bumbu, yang tanpa masuk ke mulut kami dapat membuat perut kami kenyang, tidur kami nyenyak, hati kami riang.
Kisah Ibu Penjual Daun Pisang
Diposting oleh
neo vhi
di
18.33
semburat kuning mentari subuh menemani langkah senjanya, kain krem bergaris merah melilit membungkus warna kelabu putih rambutnya. terseok berjalan menembus kesyahduan sisa subuh, berteman bakul bambu tua terbungkus kain jarik coklat lusuh. bakul tua berisikan lembar daun pisang yang sudah mulai menua di beberapa sisinya, dan beberapa sisir pisang raja yang nampak mulai kehitaman di beberapa bagiannya.
hari mulai hangat ketika tapak seoknya berhenti. tubuh senjanya didudukkan di atas trotoar kecil sebuah pasar yang masih bermimpi. keriput tangannya mulai membuka bungkusan bakul tuanya dan mengeluarkan semua barang dagangannya. mulailah ia meniti nafas menghitung detik menanti uluran tangan-tangan pembeli. hingga sisir demi sisir pisang berganti dengan sesuap nasi. hingga lembar demi lembar daun pisang menjadi pengobat perih.
ah, ibu tua,
di rumah tengah menanti seorang lelaki senja yang tak lagi bisa menjadi penyangga, karena majikan keji telah membakar segala impi. tubuh kokohnya tlah tercabut dari raga, langkah kaki citanya tlah sirna dari alam jaga, lenyap dihempas lautan amarah sang majikan di tanah seberang. bahkan untuk duduk pun tubuhnya tak lagi mampu menyambut.
kapitalis kian bengis, alam kaya hanya untuk penguasa, bahkan sedut nafas pun harus berebut.
ah, begitu banyak kisah terajut dan tersembunyi di balik tubuh-tubuh senja itu...
hari mulai hangat ketika tapak seoknya berhenti. tubuh senjanya didudukkan di atas trotoar kecil sebuah pasar yang masih bermimpi. keriput tangannya mulai membuka bungkusan bakul tuanya dan mengeluarkan semua barang dagangannya. mulailah ia meniti nafas menghitung detik menanti uluran tangan-tangan pembeli. hingga sisir demi sisir pisang berganti dengan sesuap nasi. hingga lembar demi lembar daun pisang menjadi pengobat perih.
ah, ibu tua,
di rumah tengah menanti seorang lelaki senja yang tak lagi bisa menjadi penyangga, karena majikan keji telah membakar segala impi. tubuh kokohnya tlah tercabut dari raga, langkah kaki citanya tlah sirna dari alam jaga, lenyap dihempas lautan amarah sang majikan di tanah seberang. bahkan untuk duduk pun tubuhnya tak lagi mampu menyambut.
kapitalis kian bengis, alam kaya hanya untuk penguasa, bahkan sedut nafas pun harus berebut.
ah, begitu banyak kisah terajut dan tersembunyi di balik tubuh-tubuh senja itu...
Kisah Pedagang Daun Pisang
Diposting oleh
neo vhi
di
18.30
Pagi itu terlihat seorang ibu tua berjalan menyusuri kebun pisang. Ia tersenyum menjalani rutinitas hidupnya sebagai seorang pedagang daun pisang. Dengan sedikit bernyanyi lirih ia mengambil satu persatu daun pisang kepunyaan haji Ali.
Terkadang ia hentakkan kakinya layaknya penari india sambil membawa bakul yang kini tlah penuh trisi daun pisang dan berharap ia dapat mendapat penghasilan.
Tak seperti biasanya ia berdagang di emperan itu, mulai dari pagi sekali hingga mejelang petang. Tidak lupa ia bersyukur pada Yang Maha Pencipta dengan melaksanakan kewajiban sholat yang lima waktu di sela-sela waktunya untuk berdagang.
dalam sehari penghasilannya tak menentu, kadang 5000,10.000, 15.000 atau lebih bahkan kalau lagi sepi yaaa.. ngelamun dech..
Pas jam 11 pagi tiba-tiba sepasukan Satpol PP menghampirinya, salah seorang dari mereka mengusirnya dan seorang lagi menendang bakul dagangannya hingga daun-daun pisang itu berserakan dan terinjak-injak. Ibu Tua menjerit, menangis, menciumi kaki komandan satpol agar tidak merusak dangannya. Namun malah cercaan dan hinaan yang ia dapatkan.
Bakulnya yang merupakan teman hidup selama ini telah berubah menjadi tempat sampah yang siap dibakar.
Ia meraung-raung menginginkan bakul itu. Hingga akhirnya ia terkulai tak berdaya melawan semua itu, hanya tetesan air mata yang mengiringi daun-daun pisang yang berserakan. Mungkin hanya do'a yang dapat terucap meratapi nasib yang tak berpihak...
Hanya satu kata penguasa yang terngiang ditelinganya yakni "Mewujudkan Masyarakat yang adil dan Makmur"
"Tuhanku,...... Aku serahkan Padamu Hidupku dan Matiku...."
Dalam butiran air mata ia memanggil nama-Nya....
Terkadang ia hentakkan kakinya layaknya penari india sambil membawa bakul yang kini tlah penuh trisi daun pisang dan berharap ia dapat mendapat penghasilan.
Tak seperti biasanya ia berdagang di emperan itu, mulai dari pagi sekali hingga mejelang petang. Tidak lupa ia bersyukur pada Yang Maha Pencipta dengan melaksanakan kewajiban sholat yang lima waktu di sela-sela waktunya untuk berdagang.
dalam sehari penghasilannya tak menentu, kadang 5000,10.000, 15.000 atau lebih bahkan kalau lagi sepi yaaa.. ngelamun dech..
Pas jam 11 pagi tiba-tiba sepasukan Satpol PP menghampirinya, salah seorang dari mereka mengusirnya dan seorang lagi menendang bakul dagangannya hingga daun-daun pisang itu berserakan dan terinjak-injak. Ibu Tua menjerit, menangis, menciumi kaki komandan satpol agar tidak merusak dangannya. Namun malah cercaan dan hinaan yang ia dapatkan.
Bakulnya yang merupakan teman hidup selama ini telah berubah menjadi tempat sampah yang siap dibakar.
Ia meraung-raung menginginkan bakul itu. Hingga akhirnya ia terkulai tak berdaya melawan semua itu, hanya tetesan air mata yang mengiringi daun-daun pisang yang berserakan. Mungkin hanya do'a yang dapat terucap meratapi nasib yang tak berpihak...
Hanya satu kata penguasa yang terngiang ditelinganya yakni "Mewujudkan Masyarakat yang adil dan Makmur"
"Tuhanku,...... Aku serahkan Padamu Hidupku dan Matiku...."
Dalam butiran air mata ia memanggil nama-Nya....