Pernahkah rumah Anda didatangi pengamen? Bagaimana perasaan Anda terhadap mereka? Bagaimana sikap Anda terhadap mereka?
Pengalaman pahit dialami oleh teman saya. Dia merasa sangat sakit hati terhadap sikap pengamen. Pada siang hari saatnya tidur siang, pengamen menyayikan lagu ST 12 di depan pintu. Genjrengan dan suaranya memekakkan telinga dan tidak pergi-pergi. Teman saya tadi terbangun dan menyuruh anaknya mengulurkan dua ratus rupiah pada kantong plastik si pengamen. Tidak diduga dan tidak dinyana-nyana pengamen itu melempar dua keping uang seratus rupiah itu dan pergi.
Teman saya sakit hati dibuatnya. Dia merasa sikap yang dilakukan oleh pengamen itu adalah sebuah penghinaan. Teman saya yang saya ceritakan tadi adalah orang yang bertekad kaya. Sekecil apapun uang dia menaruh penghargaan besar. Dia berpendapat bahwa uang yang besar terdiri dari uang-uang kecil yang terkumpul. Selain karena alasan penghormatan terhadap unga, alasan lain teman saya adalah karena sehari bisa lebih dari lima pengamen datang di rumahnya. Jika sehari ada lima pengamen maka jika setiap pengamen diberi dua ratus rupiah saja maka sehari keluar uang seribu. Bagaimana jika satu bulan?
Kemudian, kenapa pengamen tersebut membuang uang dua ratus rupiah? Mungkin karena pengamen juga merasa terhina karena tampangnya yang ganteng, genjrengannya yang ciamik, dan suaranya yang nyaring hanya dihargai dua ratus perak.
Tentu kita masih ingat lagu Meggi Z, “Semut pun kan marah dan berusaha membalas bila dia dihina dan diinjak” apalagi pengamen?
Pengamen, sesungguhnya adalah penghibur. Mereka datang di rumah kita untuk menawarkan jasa dan kemampuannya menyayi untuk menghibur hati kita yang mungkin sedang gundah gulana dihimpit tagihan.
Pengamen sebenarnya sejajar dengan penyayi-penyayi kafe, orkes melayu, grup band, yang berusaha menawarkan jasa hiburannya. Hanya tempat dan upahnya saja yang berbeda. Upah inilah yang jadi biang masalah. Jika penyayi panggung dan group band upahnya sudah jelas dan disepakati di awal pementasan, tidak demikian halnya dengan pengamen. Tarifnya tidak jelas. Mereka dibayar tergantung sisa receh di dalam saku dan sesuai keikhlasan 'pemirsanya'.
Keprofesionalan adalah hal yang membedakan antara pengamen dengan profesi penghibur yang lain. Seringkali pengamen tidak hafal satu lagupun, hanya mengulang-ulang reff melulu. Mereka seakan mengamen hanya ingin mencari uang dengan mudah tanpa bekerja lebih keras. Tapi tentu saja, tidak semua pengamen demikian, ada juga pengamen yang profesional, menyanyi dengan sungguh-sungguh, dengan kualitas sajian yang sungguh-sungguh pula.
Bagaimana menyikapi pengamen? Mari kita menyikapi pengamen sebagaimana mereka menampakkan dirinya. Pengamen seringkali menampakkan dirinya antara sebagai penghibur, pengemis, dan preman.
Pengamen profesional kita hargai keprofesionalannya, yang bermental pengemis kita hargai usahanya, tapi yang pengamen yang preman kita boleh memanggil hansip dan menyerahkannya ke pihak yang berwajib.
Warga perkotaan terutama perumahan paling takut terhadap pengamen jenis ini. Kalau mereka berbuat apa-apa terhadap pengamen, mereka takut mendapat ancaman di kemudian hari. Hal ini terjadi karena sistem pertahanan kampung di perumahan tidak terjadi. Tetangga yang tidak saling kenal maka tidak mungkin saling dapat menjaga. Untuk itu kumpul-kumpul dengan sesama warga dalam sebuah wilayah sangat perlu diselengarakan untuk membentuk sistem pertahanan kampung demi mewaspadai ulah pencuri, pencoleng, preman, dan pengamen berlagak preman.
0 komentar: