Kisah Pejuang Anak Kaum Miskin Bersekolah

“Laskar Pelangi” karena tertarik kepengen nonton filmnya. Sebelumnya novel “Laskar Pelangi” sudah lebih dulu terkenal karena masuk jajaran novel “best seller”. Temen yang sudah lebih dulu baca mengingatkan, bacalah novel ini saat perasaan hati sedang senang. Ini mengindikasikan bahwa novel ini termasuk kategori bacaan berat. Tapi gw melanggar imbauan temen gw itu. Gw baca novel ini saat otak gw lagi “butek” karena kurang tidur. Dan ternyata, apa yang dibilang temen gw itu salah. Bagi gw novel ini “sangat renyah” dan sama sekali tidak berat.

Latar belakang kisah “Laskar Pelangi” yang menceritakan kehidupan di seputar sekolah kaum miskin yang reyot di Belitung terasa tidak terlalu aneh bagi gw. Sekolah seperti itu banyak bertebaran di daerah terpencil di Indonesia. Seperti: sekolah anak transmigran di Tulang Bawang Lampung (lihat: perjuangan anak transmigran).

Yang menarik adalah novel ini berisi cerita kehidupan masa kecil penulisnya (?) saat duduk di bangku SD, SMP hingga memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Bagi gw, daya tarik buku ini adalah pada daya juang anak-anak kaum miskin untuk meraih kehidupan di masa depan yang lebih baik melalui pendidikan.

Setelah membaca habis novel ini, bagian yang paling menarik justru terdapat pada Bab I: Sepuluh Murid Baru. Dalam bab ini diceritakan perjuangan Bu Mus Dan Pak Harfan bagaimana mendapatkan 10 murid SD kelas satu pada tahun ajaran baru agar sekolah Muhammadiyah di Belitong tetap dapat bertahan. Karena bila mendapat murid kurang dari 10, maka sekolah itu akan ditutup.

Setelah Bab ini, bab selanjutnya bagi gw seperti bernostalgia berkunjung ke Belitung. Tentang kondisi lokasi tambang timah dan kehidupan masyarakatnya. Tentang kesenjangan sosial antara karyawan PN Timah dan penduduk sekitar yang bak “langit dan bumi”. Tentang perjuangan 10 murid SD Muhammadiyah hingga terlepas dari kemiskinan. Dan tentang kesuksesan sang penulis mencapai cita-citanya dari anak buruh tambang yang miskin hingga mendapat bea siswa sekolah ke perguruan tinggi.

Rasanya tidak aneh kalau banyak yang suka dengan novel ini. Karena novel yang mengangkat kisah pahit getir kehidupan masyarakat bawah yang ditulis secara gamblang, tanpa “tedeng aling-aling” dan mengalir seperti air, sesuai apa pemikiran penulisnya.

Sehabis membaca novelnya, rasanya tidak sabar menantikan bagaimana jadinya bila kisahnya diangkat ke layar lebar. Melihat kembali setting Belitung belasan tahun silam. Dan keindahan edensor seperti yang diungkapkan penulisnya. Apakah kesan yang timbul bagi penonton tentang keindahan edensor sama dengan yang dikisahkan Andrea Hirata, sang penulis novel ini.

anak sekolahtransmigran
Perjuangan Anak Transmigran

Para remaja ini baru pulang. Setelah sejak siang berkutat dengan pelajaran di kelasnya. Mobil angkutan ini adalah satu dari dua mobil angkutan umum yang melayani murid sekolah ini. Sekilas para remaja belasan tahun ini tak berbeda dengan pelajar SMA lainnya, namun sekolah mereka berbeda dengan sekolah lainnya di kawasan ini, karena mereka bersekolah secara gratis.
Dua dari tiga remaja ini adalah Puspita dan Rukminah. Sejak delapan bulan yang lalu, keduanya bersekolah tanpa dipungut uang SPP dan uang bangunan, di sebuah Sekolah Menengah Atas di Tulang Bawang, Lampung.
Tugas-tugas rumah tangga yang sedang diselesaikan ini dikerjakan tanpa paksaan dari pemilik rumah. Mereka melakukannya sebagai balasan atas kebaikan pemilik rumah yang memperbolehkan mereka tinggal di rumah ini.
Mereka tinggal di rumah ini karena rumah mereka jauh dari sekolah. Ditambah kondisi jalur transportasi yang buruk, membuat jarak rumah mereka dengan sekolah ini sulit ditempuh. Idealnya, mereka tinggal di asrama. Namun karena keterbatasan dana, pihak yayasan pengelola sekolah menitipkan mereka kepada warga setempat, ataupun pondok-pondok pesantren.
Sebagai kompensasinya, murid-murid sekolah yang dititipkan ini, membantu meringankan pekerjaan pemilik rumah, baik di rumah, di kebun, maupun di toko.
Ini adalah Asnawi. Ia juga murid SMA gratis di Tulang Bawang, Lampung. Pagi hari sebelum masuk sekolah, pemuda berusia 17 tahun ini, membantu menyadap, dan merawat pohon karet di perkebunan milik bapak asuhnya. Ia merupakan anak ke-enam dari tujuh bersaudara yang bercita-cita menjadi polisi. Orangtua Asnawi merupakan peserta program transmigrasi pada era tahun 80-an.
Sekolah gratis ini didirikan atas gagasan sekelompok orang yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Peduli Transmigrasi Indonesia (HMPTI). Mereka prihatin, karena taraf hidup keluarga transmigran di tempat ini masih jauh dari harapan.
Sekolah gratis yang didirikan pada tingkat Sekolah Menengah Atas, karena banyak anak-anak yang putus sekolah pada tingkatan ini. Yang dapat bersekolah disini adalah mereka yang berasal keluarga transmigran tidak mampu, muridnya berjumlah 140 orang.
Meski telah berdiri sejak dua tahun lalu, sekolah ini belum memiliki gedung sendiri. Mereka meminjam gedung sebuah Sekolah Dasar Negeri di Desa Banjar Agung.
Walau tidak dipungut bayaran, menurut Muslihuddin, Kepala Sekolah SMA HMPTI, antusiasme murid untuk mereguk ilmu di sekolah ini sangat tinggi. Karena inilah satu-satunya pilihan yang mereka miliki untuk menggapai cita-cita.
Mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin undang-undang dasar. Namun tak dapat dipungkiri, belum semua warga negara dapat menikmati pendidikan yang layak. Keberadaan sekolah gratis anak-anak transmigran ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Karena siapa tahu, para pemimpin bangsa ini kelak, merupakan lulusan sekolah semacam ini. (Lengkapnya lihat: www.indosiar.com/news/horison)

0 komentar:

Posting Komentar