KEMISKINAN masih menjadi pemandangan sepanjang sejarah di negeri ini. Dalam negara yang salah urus tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan juga telah mengantarkan jutaan anak Indonesia tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas. Seperti yang dialami Hengki (16), salah seorang pengamen di kawasan Kalimalang. Dia harus merantau ke Jakarta di usia yang terbilang sangat belia.
Di usianya yang baru menginjak 10 tahun, Hengki merantau ke Jakarta bersama seorang saudaranya. “Saya niat merantau ke Jakarta untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Untuk bisa membantu orangtua di kampung," ujar Hengki saat berbincang dengan okezone, baru-baru ini.
Kemiskinan yang dialami keluarganya di Padang membuat sulung dari empat bersaudara ini harus rela menunda keinginannya bersekolah lebih tinggi lagi. Hengki rela menggantungkan tas sekolahnya untuk mengadu nasib di Jakarta. “Biarlah saya membantu orangtua mencari uang agar adik-adik tetap bersekolah,” tuturnya. Walaupun jumlah pendapatan yang dihasilkan dari mengamen di kawasan Kalimalang hanya Rp40.000 per hari, Hengki tetap menyisihkan sebagian penghasilannya untuk dikirimkan kepada orangtua di kampung.
Penghasilan yang minim tersebut didapatkan Hengki dengan mengamen dari pukul 11.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Pilihan berat ini dijalani karena tak ingin membebani orangtua. Hengki memutuskan tidak mau bergantung kepada siapa-siapa, termasuk untuk tinggal dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Dulu ketika masih melanjutkan sekolah, saya tinggal bersama saudara, tapi sejak lulus lebih banyak menghabiskan keseharian di jalan,” tutur Hengki.
Untuk urusan memejamkan mata pun dia lebih memilih berada di teras toko yang ketika malam hari sudah tutup. Keinginan untuk terus bersekolah pupus ketika kemiskinan menjerat keluarganya. Orangtua yang hanya seorang buruh tani dan tidak memiliki penghasilan tetap membuatnya pasrah menerima nasib. “Dulu ketika masih bersekolah di kampung, saya juga ikut bekerja di lahan pertanian tapi penghasilannya sedikit,” imbuh Hengki. Dengan pendapatan yang minim itu Hengki hanya bertahan bekerja selama dua bulan.
Lain halnya dengan kisah hidup si kecil Eki. Dengan usia yang baru menginjak 8 tahun, bocah ini harus membantu sang ibu menjadi pengemis di jalanan Ibu Kota. Aktivitas ini dijalani Eki sejak berusia dua tahun hingga kini.
Berbeda dengan nasib Hengki yang harus putus sekolah, Eki masih lebih beruntung dengan rutinitas mengemis dari pukul 13.00-21.00 WIB. Eki masih bisa bersekolah di pagi harinya. Siswa kelas 1 SD yang bersekolah di Jati Bening ini mengaku tidak pernah belajar setiap hari. “Kalau belajar cuma hari Minggu aja, karena kalau hari Minggu ngemisnya libur,” ujar Eki.
Faktor kebutuhan ekonomi kian tinggi dan penghasilan sang ayah yang hanya tukang cuci mobil, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Karenanya, ia dan ibunya harus rela mengemis demi meringankan beban ayahnya membayar uang sekolah. Ibu dan anak ini bisa menghasilkan Rp70 ribu sehari. Eki yang ingin terus sekolah hingga cita-citanya menjadi dokter ini berharap kehidupannya lebih baik suatu saat nanti. Membahagiakan kedua orangtua juga menjadi dambaannya selain mengejar cita-cita menjadi seorang dokter.
Perjalanan hidup Hengki dan Eki menjadi potret buram kehidupan anak Indonesia yang terpaksa berhenti sekolah dan turun ke jalanan karena kemiskinan. Mereka harus membantu orangtuanya mencari nafkah dengan untuk bertahan hidup. Akar persoalan anjal adalah kemiskinan sehingga penanganan dari masalah sosial ini harus berawal dari kemiskinan itu sendiri yang menyebabkan mereka turun ke jalan.
"Seandainya ada undang-undang yang melarang anak turun ke jalan itu malah bentuk kriminalisasi. Jadi pendekatan yang mesti dijalankan dalam menangani anak jalanan adalah mengatasi kemiskinan mereka," papar Kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulhin.
Menurut dia, hal terpenting terhadap penanganan anak jalanan adalah memikirkan pemenuhan jaminan kebutuhannya untuk membebaskan mereka dari kemiskinan sehingga tidak turun ke jalan. "Bisa dengan cara memberikan tempat tinggal, fasilitas belajar atau sarana usaha," kata Iqrak. Dia juga mengatakan, dalam konteks eksploitasi anak jalanan ini banyak modus. Pelakunya malah terkadang orangtuanya sendiri. Sebab itu, orangtua juga harus menjadi salah satu pusat perhatian, selain pihak-pihak lain yang mengorganisir mereka di jalanan.
“Program tabungan untuk anjal yang dilaksanakan oleh pemerintah bisa saja berjalan secara efektif apabila dalam pelaksanaannya dana yang dianggarkan oleh pemerintah diberikan secara tepat sasaran," kata Sosiolog Univeritas Esa Unggul, Abdurrahman kepada okezone, baru-baru ini.
Dia menjelaskan, untuk mencarikan solusi terbaik untuk penanganan masalah anjal seharusnya pemerintah tidak hanya mengadakan program yang hanya mengucurkan dana begitu besar. Namun, pemerintah sebaiknya memikirkan cara untuk memberikan tempat tinggal bagi anjal. Menurutnya, rumah yang dibangun untuk anjal tersebut sebaiknya digunakan untuk memberikan pendidikan agar mereka bisa dididik dengan ketrampilan. Dengan modal ketrampilan ini diharapkan mereka dapat mandiri dengan membuka usaha, sehingga pada akhirnya tidak kembali ke jalan.
“Pemerintah juga harus konsisten terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah jelas menyebutkan bahwa fakir, miskin dan anak jalanan dipelihara oleh negara,” tandas mantan Kepala Jurusan Jurnalistik Univeritas Esa Unggul itu.
Menurut dia, apabila amanat konstitusi tersebut bisa dilaksanakan dengan baik tidak mungkin jumlah anjal akan berkurang. "Pembangunan tempat tinggal untuk anak jalanan seharusnya bisa dibangun oleh pemerintah dan dikelolah
0 komentar: